Pendapat itu disampaikan pengamat politik dari Motion Cipta Matrix, Wildan Hakim, kepada
Kantor Berita Politik RMOL, di Jakarta, Minggu (31/12).
"Saat menjabat gubernur Jawa Tengah, Ganjar sangat populer. Elektabilitasnya terus naik. Kini, tanpa jabatan publik, dia terlihat agak sulit membuktikan aksi nyatanya buat masyarakat. itulah yang kemudian menggerus elektabilitasnya," kata Wildan.
Prabowo-Gibran, sambung dia, diuntungkan dengan status keduanya sebagai pejabat publik. Prabowo masih menjabat Menteri Pertahanan (Menhan), sedangkan Gibran masih menjabat Walikota Solo.
"Bagaimanapun, faktor jabatan masih berkontribusi terhadap popularitas, dan berikutnya berpengaruh terhadap elektabilitas," tambahnya.
Untuk pasangan Ganjar-Mahfud, kata dosen ilmu komunikasi Universitas Al-Azhar Indonesia itu, hanya sosok Mahfud MD yang masih menjabat, sebagai Menko Polhukam.
"Sosok Mahfud memang populer, tapi untuk menaikkan elektabilitas pasangan masih butuh waktu. Pembuktiannya bisa dilihat dari hasil kampanye yang sekarang sedang dilakukan seluruh pasangan," katanya.
Wildan juga menjelaskan, survei elektabilitas merupakan alat ukur penting bagi seluruh kandidat presiden dan wakil presiden untuk melihat peluang. Metode kuantitatif menggambarkan pilihan warga pada periode tertentu. Hasilnya bisa berubah, sesuai dinamika konstituen.
Menurut dia, ada sejumlah faktor pemicu yang bisa menurunkan elektabilitas seorang figur. Pertama, faktor news framing yang tersaji di media massa maupun cerita dari mulut ke mulut di masyarakat.
Untuk news framing, kata Wildan, masih bisa dipantau tim kampanye. Yang repot adalah memantau rumor negatif tentang figur yang beredar di tengah masyarakat.
"Faktor kedua dipicu minimnya isu menarik di mata publik dan konstituen. Dalam kampanye Pilpres, isu menjadi bahan baku agar sosok yang dikampanyekan punya daya tarik, kemudian membentuk kesadaran publik," katanya lagi.
Dia menilai persepsi responden terhadap Prabowo semakin positif, sementara persepsi publik terhadap Ganjar cenderung stagnan.
"Ada yang menyebut, pada 2019 lalu Prabowo tampil bagaikan superstar. Sementara pada 2024 dikemas lebih merakyat. Gaya ‘merakyat’ ini sebenarnya sudah dipraktikkan dengan baik oleh Ganjar. Tapi begitu Prabowo mengikuti gaya merakyat, ternyata publik suka," jelasnya.
Situasi juga mendukung ketika Prabowo sedang berada di puncak popularitas, karena dikesankan sudah diendorse oleh Presiden Jokowi sebagai
the next president."Plus punya Cawapres Gibran. Dua kondisi faktual itu yang berkontribusi terhadap stagnasi elektabilitas Ganjar. Upaya memastikan kemenangan dalam Pilpres bisa dilakukan dengan cara memperkuat lumbung suara. Untuk PDI Perjuangan, kekuatan utama di Jawa Tengah. Maka, terlepas dari hasil survei elektabilitas, upaya memastikan dukungan pemilih di Jateng dan sebagian Jatim harus makin digencarkan," pungkas Wildan.
BERITA TERKAIT: