Setiap menjelang pemilu, sering ditemukan kasus politisi atau relawan yang pindah gerbong atau memindahkan dukungan dari satu kubu ke kubu lainnya.
Menurut pengamat politik dan pemerintahan dari Universitas Jenderal Achmad Yani (Unjani), Wawan Gunawan, memindahkan dukungan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) bukan sesuatu yang salah dalam pemilu.
"Bahkan, mengalihkan dukungan dari capres A ke capres B pun bukan dosa," ucap Wagoen, sapaan akrab Wawan Gunawan, saat dihubungi
Kantor Berita RMOLJabar, Kamis, (21/12).
Ditambahkan Wagoen, keputusan politisi mengalihkan dukungan politik biasanya didasari pertimbangan politik pragmatis dan perilaku oportunis aktor politik yang tidak jarang dibumbui politik transaksional.
"Namun ketika ketiganya bertemu dengan mengatasnamakan kepentingan rakyat dan negara maka muncul preposisi: Dukung-mendukung capres bergeser menjadi jual-menjual kepentingan rakyat dan negara," tegasnya.
Meski tidak melanggar aturan, Wagoen mengingatkan bahwa perilaku politik seperti itu tidak etis dan bertentangan dengan prinsip politik adiluhung.
"Tapi bagi sebagian orang mbok ya enggak menjual kepentingan diri dan kelompok dengan mengatasnamakan rakyat dan negara," ucapnya.
Dijelaskan Wagoen, di level masyarakat cerdas (critical mass) semua bisa dipahami dan dimaklumi, tapi di level bawah (man on the street) bertemunya pragmatisme-oportunisme-transaksional, akan berimplikasi buruk.
"Mengapa? Karena mentalitas kaum
man on the street tidak stabil, mudah goyah sehingga gampang terprovokasi. Dampak susulannya cenderung melahirkan destruksi sosial bahkan konflik masif," terangnya.
Dengan demikian, dia menuturkan, harus ada antisipasi holistik dari
stakeholder good governance, baik dari pemerintah, swasta, juga publik yang melek realitas politik.
"Tentu saja melalui perannya masing-masing dalam
collaborative governance bahwa stabilitas politik harus dijaga bersamaan dengan ketertiban sosial serta keamanan yang kondusif," tandasnya.
BERITA TERKAIT: