Hal itu terlihat dalam setiap kampanye Ganjar Pranowo maupun Mahfud MD di beberapa titik.
“Saya kira kita kan punya strategi semua ya, strategi ini kita lakukan dengan cara kita melihat bagaimana masyarakat di luar sana. Pak Ganjar ini melakukan kegiatan-kegiatannya tentunya dengan melihat itu,” kata Wakil Ketua TPN Ganjar-Mahfud, Gatot Eddy Pramono kepada wartawan seusai rapat mingguan di Gedung High End, Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Rabu (20/12).
Gatot menyatakan, saat Ganjar-Mahfud melakukan kegiatan selalu mengedepankan aspirasi rakyat dengan gerak cepat “Sat-Set” dan “Tas-Tes”
“Jadi, intinya apa yang sudah dilakukan Pak Jokowi yang baik itu akan dilanjutkan oleh Pak Ganjar, kemudian kalau ada yang masih kurang, itu akan diperbaiki,” jelas mantan Wakapolri ini.
Lebih jauh, Gatot meyakini pendukung Presiden Jokowi bisa mendukung Ganjar di Pilpres 2024. Ini lantaran Ganjar mengimplementasikan gerak cepat.
“Nah kalau nanti ada pendukung-pendukung dari Jokowi yang mendukung Ganjar, dia bisa melihat sendiri dengan gerak cepat dan gaspol beliau ini,” pungkasnya.
Sebelumnya, survei LSI Denny-JA memotret temuan barunya soal pemilih yang merasa puas dengan kinerja Jokowi akhirnya beralih ke Partai Gerindra.
Dengan kata lain, kenaikan suara Gerindra terjadi karena terjadi kenaikan dukungan dari pemilih yang puas Jokowi, dan Prabowo semakin populer. Sedangkan, elektabilitas pribadi Prabowo sudah melewati 40 persen.
“Jika tren ini terus berlanjut, dukungan PDIP bisa kembali ke era sebelum Jokowi jadi presiden,” kata Direktur LSI Denny-JA, Adjie Alfaraby saat menempatkan hasil survei terbaru LSI Denny-JA bertajuk “Akhir Dominasi PDIP di 2024?” dikutip Rabu (20/12).
Terdapat beberapa faktor penyebab turunnya suara PDIP di Pemilu 2024. Antara lain yang paling dominan adalah blunder PDIP menyerang Presiden Joko Widodo (Jokowi), penolakan gelaran sepak bola dunia U-20 dan menyebut Jokowi sebagai petugas partai.
“Penurunan suara PDIP terjadi karena blunder serangan PDIP ke Jokowi, penolakan sepak bola dunia U-20 dan penyebutan presiden sebagai petugas partai,” ujarnya.
Terkait penyebutan Jokowi petugas partai, kata Adjie, mayoritas publik tidak sepakat dengan labelisasi PDIP terhadap orang nomor satu di Indonesia tersebut.
“Yang kurang/tidak setuju dengan penyebutan presiden sebagai petugas partai sebesar 69,9 persen,” ungkapnya.
BERITA TERKAIT: