Bivitri menyampaikan pandangannya dalam seminar publik bertajuk "Perlindungan Perempuan dalam Pemilu: Suarakan, Mau Apa di 2024?", yang digelar Serikat Perjuangan Rakyat Indonesia, di Hotel Mercure Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (2/12).
Bivitri memandang, pengambilan keputusan pencalegan oleh struktur organisasi parpol tak lagi memakai perspektif gender.
"Sekarang ini, parpol benar-benar cara untuk mencari kekuasaan," ujar Bivitri.
Dia mengamati, dari total 18 parpol nasional yang terdaftar di KPU sebagai peserta Pemilu Serentak 2024, hanya satu yang memperhatikan kewajiban 30 persen perempuan yang diatur UU 7/2017 tentang Pemilu.
"Kita sebut saja, karena bagus untuk pembelajaran. PKS bisa memenuhi 30 persen perempuan karena melalui proses pengkaderan yang baik di masyarakat," ungkapnya.
Namun parpol selain PKS, yang didapati pengajar di Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera justru tidak mampu memenuhi 30 persen keterwakilan perempuan.
"Tidak ada logika keterwakilan, semuanya logika bisa mendapat kursi, cuan atau kekuasaan lainnya," tuturnya.
Lebih lanjut, Bivitri menduga parpol belum memiliki komitmen yang kuat dalam memastikan keterlibatan perempuan dalam dunia politik bisa dimaksimalkan.
"Ketika ada tuntutan affirmative action itu, maka mereka merasa menjadi beban," demikian Bivitri menambahkan.
Dalam diskusi tersebut turut hadir sebagai pembicara, Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia Mike Verawati Tangka, dan Anggota KPU Jakarta Pusat Fitriani.
BERITA TERKAIT: