Pasalnya, Desa Bersatu merupakan kelompok yang dibentuk DPP Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (Apdesi) yang merupakan organisasi kepala desa aktif.
Menurut Koordinator Nasional Desa Bersatu, Muhammad Asri Anas, alasan mereka mendukung Prabowo-Gibran di Pilpres 2024 karena hanya pasangan calon nomor urut 2 itu yang berkomitmen terkait tata kelola dana desa Rp5 miliar hingga evaluasi sistem pendamping desa.
Menanggapi hal tersebut, Ketua Umum DPP Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), Arjuna Putra Aldino, mendesak Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) jangan hanya diam dan seolah menutup mata dengan pelanggaran yang terjadi. Arjuna meminta Bawaslu untuk sigap memproses tindakan yang jelas-jelas melanggar baik UU Desa maupun UU Pemilu.
“Bawaslu jangan diam saja. Pelanggaran terjadi di depan mata. Undang-undang sudah jelas bunyinya, bukti juga sudah terang. Tunggu apalagi?” ujar Arjuna melalui keterangannya, Selasa (21/11).
Arjuna menilai sudah banyak bukti yang menunjukkan bahwa aturan telah dilanggar dan perintah undang-undang tentang netralitas telah dikangkangi begitu saja.
Mulai dari tersebarnya undangan yang bertajuk “Deklarasi Nasional Desa Bersatu Menuju Indonesia Maju, Dukungan Kepada Prabowo Subianto Calon Presiden-Gibran Rakabuming Raka Calon Wakil Presiden 2024-2029 dan Konsolidasi Nasional Rebut Suara Desa 2024”. Hingga beredarnya nametag yang jelas-jelas menunjukkan bahwa acara tersebut adalah acara deklarasi dukungan. Termasuk pernyataan dari koordinator acara Muhammad Asri Anas di sejumlah media.
“Buktinya sudah banyak mulai dari undangan dan nametag yang tersebar hingga statement koordinator acara di sejumlah media yang terang mendukung salah satu pasangan. Mau cari bukti apalagi?” tambah Arjuna
Arjuna minta Bawaslu tidak tebang pilih dalam menegakan aturan pemilu. Jangan karena salah satu kandidat yang melanggar adalah anak Presiden yang masih berkuasa, membuat Bawaslu seperti tak punya daya. Arjuna menilai, apabila Bawaslu bersikap tebang pilih atau diskriminatif dalam menegakan aturan maka berpotensi akan terjadi kekacauan.
“Jangan karena yang melanggar anak Presiden aturan jadi tumpul. Bawaslu tidak boleh tebang pilih dan diskriminatif dalam menegakan aturan. Jika ini terjadi berkelanjutan maka masyarakat bisa main hakim sendiri. Bisa kacau,” tegas Arjuna
Arjuna juga mengingatkan Bawaslu bahwa Undang-Undang Dasar Republik ini belum berubah yaitu bahwa Negara ini adalah negara hukum (
rechtsstaat) bukan negara kekuasaan (
machtstaat). Artinya konsep penyelenggaraan pemilu didasarkan atas hukum.
Jika terbukti melanggar hukum maka harus ditindak. Bukan penegakan hukum mengikuti kehendak penguasa.
“Setahu saya dalam Undang-Undang Dasar masih tertera dengan jelas bahwa Negara ini adalah negara hukum (
rechtsstaat). Belum berubah jadi Negara kekuasaan. Artinya Bawaslu harus tegak lurus dengan hukum. Bukan tegak lurus pada penguasa,” tutup Arjuna.
BERITA TERKAIT: