“Ini contoh demokrasi yang kebablasan seperti diksi 'bajingan tolol'. Tentunya diksi itu sama sekali tidak pas,” kata Komunikolog Universitas Pelita Harapan, Emrus Sihombing kepada wartawan, Rabu (2/8).
Ia mengamini, Rocky Gerung memang dikenal sebagai sosok kritikus yang kontroversial. Namun ia menyayangkan pemilihan diksi dan kalimatnya tidak tepat.
Menurut Emrus, publik perlu memisahkan antara kritik produktif dan kritik yang dibungkus dengan agenda. Keduanya tidak bisa disamakan.
"Kalau saya pelajari rekam jejak Rocky Gerung di dunia digital, dia kerap mengungkapkan kritik tidak produktif ke Presiden Jokowi, tapi tidak dengan tokoh lain, misal ke Prabowo dan Anies," lanjut Emrus.
Ia lantas menyoroti penggunaan diksi 'bajingan tolol' sebagaimana rekaman video yang viral hingga membuat Rocky Gerung dilaporkan ke polisi.
Ditinjau dari ilmu bahasan, diksi tersebut sulit dikatakan sebagai ungkapan persahabatan. Sebab sosok yang dituju, yakni Presiden Jokowi tidak ada dalam ruang diskusi yang sama dengan Rocky Gerung saat menyampaikan pernyataan tersebut.
“Sehingga kalau dikatakan itu adalah ungkapan persahabatan, saya membantah itu dari sudut semiotika komunikasi,” tutup Emrus.
BERITA TERKAIT: