Hal tersbeut dikatakan Staf Ahli Utama Pansus BLBI DPD RI, Hardjuno Wiwoho. Dia menyampaikan apresiasi pencapaian yang telah dikerjakan oleh Satgas BLBI. Namun, Satgas BLBI diminta hati-hati saat menyatakan nilai sitaan aset.
Pasalnya, kata Hardjuno, pengalaman dari skandal BLBI aset yang diberikan oleh para obligor ternyata adalah aset bodong alias nilainya jauh dari yang diklaimkan.
"Saya meminta Mahfud MD selaku Dewan Pengarah Satgas BLBI untuk hati-hati saat menyatakan nilai sitaan aset," ujar Hardjuno kepada wartawan, Rabu (7/6).
Hardjuno mengingatkan, negara saat itu memberi bantuan BLBI dalam bentuk tunai. Kemudian dibayar oleh para obligor dalam bentuk aset, yang ternyata saat aset tersebut dilelang oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) nilainya jauh dari yang diklaim oleh para obligor.
"Maka saya mengingatkan, kesalahan fatal BPPN itu bisa terulang lagi oleh Satgas BLBI ini. Mestinya aset tersebut dijual dulu, jadikan tunai, dan masukkan ke kas negara, baru nilainya jelas," terangnya.
"Dulu saat BPPN mengurus aset obligor, saat dijual nilai tunainya hanya 5 persen dari perkiraan. Fatal dan sangat merugikan rakyat itu," sambungnya.
Menurut Hardjuno klaim nilai aset oleh Satgas BLBI sebesar Rp 29,608 triliun tersebut sangat berbahaya, dan bisa berimplikasi hukum bagi Satgas BLBI jika nanti ketika dijual aset tersebut ternyata nilainya jauh di bawah yang diklaim.
“Kita tugasnya mengingatkan, dulu pejabat BPPN musti berurusan dengan hukum gara-gara klaim nilai aset itu. Bisa dianggap kongkalikong dengan obligor. Prof Mahfud sebaiknya lebih hati-hati lagi," pungkasnya.
BERITA TERKAIT: