Rumusan saran itu dibedah dalam urun rembug untuk bertukar informasi dan data, yang diinisasi Narasi Institute secara daring pada Jumat (2/6).
Pakar Kebijakan Publik Narasi Institute, Achmad Nur Hidayat, selaku notulen acara, mengatakan, seluruh permasalahan bangsa yang diperbincangkan para guru besar dalam urun rembug tersebut sangat strategis.
Menurutnya, publik perlu pencerahan dari para akademisi yang tegak lurus memperbaiki bangsa,
"Insyaallah seri diskusi Narasi Institute nanti akan sangat bermanfaat sebagai pertukaran gagasan dari otak-otak terbaik bangsa Indonesia," kata Achmad Nur Hidayat.
Adapun pakar yang hadir, di antaranya Profesor Didin S. Damanhuri, Awalil Rizky, Fadhil Hasan, Faisal Basri, Said Didu, Aries Muftie, Fuad Bawazier, dan Soetrisno Bachir.
Dalam forum itu, mereka menyepakati enam poin saran kepada pengambil kebijakan. Salah satunya, perlunya arah baru ekonomi Indonesia kedepan. Ekonomi yang lebih berpihak pada keadilan dan kesetaraan ekonomi.
Lalu, bersepakat untuk menjadikan ekonomi Indonesia lebih baik lagi untuk mampu mengejar ketertinggalan dan mencapai target ekonomi empat besar dunia pada 2045. Karenanya diperlukan turn around policy dalam ekonomi Indonesia ke depan.
Berikutnya, bersepakat bahwa presiden tidak boleh cawe-cawe dalam suksesi kepemimpinan 2024. Presiden harus menghindari
low politics atau politik rendah. Yaitu, mencampuri urusan suksesi dan parpol menjelang Pemilu 2024. Presiden juga diminta memastikan transisi kepemimpinan secara demokratis.
Para pakar, cendekia dan ekonom juga bersepakat perlu adanya pemberantasan korupsi yang lebih konkret, karena korupsi saat ini telah benar-benar menjadi masalah yang serius bagi Indonesia; serta bersepakat Indonesia adalah negara yang berdasarkan hukum, sehingga hukumlah yang harus ditempatkan sebagai panglima dan bukan politik sebagai panglima.
Terakhir, memandang diperlukan upaya untuk merekatkan kembali hubungan antara sesama warga bangsa, antara kelompok dan golongan untuk hidup rukun dan damai berdampingan.
Para pakar juga mencatat setidaknya ada lima masalah ekonomi yang terjadi saat ini. Salah satunya adalah terjadinya ketidakadilan atau ketimpangan nyata.
Kemudian, adanya kebocoran dan korupsi yang semakin besar, dulu 30 persen dan saat ini meningkat hingga 57 persen. Masalah lain adalah otonomi daerah yang dianggap tidak menyejahterakan rakyat, ekosistem politik yang menyuburkan oligarki; serta struktur tempayan alias oligarki dalam perekonomian menuju struktur belah ketupat.
Selain itu, pakar juga menyoroti ada tujuh dimensi yang perlu dilakukan Arah Baru Ekonomi (AB-Nomics), yaitu menggeser orientasi pembangunan yang terlalu “GDP (produk domestik bruto)
Oriented” ke arah "
Sustainable Growth” dengan menekankan kepada kesetaraan dan keadilan ekonomi.
Arah baru yang dimaksud adalah pencapaian GDP sebagai faktor indikatif harus diikuti untuk mencapai keberlanjutan secara ekonomi, sosial dan ekologi.
Berikutnya, perlunya reformasi pengelolaan fiskal dan moneter yang terlalu terkonsentrasi di Kementerian Keuangan dengan melibatkan peran Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas); orientasi pembangunan menuju penguatan agromaritim; mengembalikan peran vital Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).
Selanjutnya, indikator sukses otonomi daerah dan perangkingan daerah-daerah yang sukses; serta revisi UU Politik untuk mencegah penguasaan parpol oleh oligarki politik.
"Komitmen para akademis bangsa tersebut memperbaiki kondisi bangsa sangat tinggi dan siap berdiskusi dengan siapapun untuk kemajuan ekonomi yang lebih baik," demikian Achmad Nur Hidayat.
BERITA TERKAIT: