Sebab, menurut pengamat politik dari Universitas Lampung (Unila), Budi Harjo, dalam sistem proporsional tertutup, orientasi tanggung jawab caleg bukan kepada masyarakat, melainkan ke partai politik yang memilihnya.
"Tidak ada tanggung jawab caleg kepada rakyat, karena merasa dipilih oleh partai sehingga orientasi tugasnya kepada partai. Tentu ini merugikan masyarakat, karena demokrasi kan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Jadi seharusnya berorientasi kepada rakyat," ucap Budi Harjo, dikutip
Kantor Berita RMOLlampung, Senin (29/5).
Menurut Budi, untuk mengubah orientasi tanggung jawab tersebut tidak bisa dilakukan dengan mudah. Karena sistem tertutup yang menentukan siapa yang menjadi anggota legislatif adalah partai. Sementara sistem terbuka, kalaupun caleg nomor urut 9, namun dikendalikan masyarakat maka bisa terpilih.
"Jadi kehendak rakyat tidak sama dengan kehendak partai. Kalau sistem pemilu tertutup itu akan muncul istilah petugas partai. Jadi kurang elok," terangnya.
Di sisi lain, Budi juga menilai peluang melakukan pelanggaran pemilu bisa terjadi pada kedua sistem tersebut. Karena kedua sistem tersebut berorientasi kepada kemenangan.
"Kalau sistem tertutup yang bergerak partai, kalau sistem terbuka yang bergerak caleg. Karena keduanya berorientasi kemenangan, jadi bisa melakukan berbagai cara untuk menang," tandasnya.
BERITA TERKAIT: