Rencana Komisi Pemilihan Umum (KPU) tersebut mendapat kritik dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), namun tidak menafikan manfaat dari ide itu.
"Model penghitungan suara di TPS menjadi dua panel memang pilihan yang memberikan beban kerja yang lebih ringan kepada pemilih saat menghitung suara pada hari-H," ujar Anggota Dewan Pembina Perludem, Titi Anggraini kepada wartawan, Jumat (28/4).
Dari sisi kekurangannya, Titi menduga akan ada dampak yang diterima publik dalam hal penerapan kebijakan KPU itu.
"Namun, skema itu berdampak berkurangnya akses pemilih atau warga masyarakat pada transparansi dan partisipasi untuk mengikuti keseluruhan penghitungan suara di TPS," sambungnya menuturkan.
Ia mensimulasikan, apabila penghitungan suara pilpres dan pileg dilangsungkan dalam waktu terpisah, akan menyulitkan bagi sejumlah kalangan.
"Misalnya, saat penghitungan suara pilpres berlangsung, penghitungan suara pemilu DPR juga sedang dilaksanakan, sebagai pemilih atau pemantau, kalau saya datang sendirian, saya kan hanya bisa mengikuti salah satu saja," urainya.
"Padahal, saya ingin mengikuti dan memantau keduanya. Tentu itu akhirnya mengurangi kualitas akuntabilitas penghitungan suara dibandingkan praktik penghitungan suara yang dilakukan selama ini," demikian Titi menambahkan.
BERITA TERKAIT: