Hal tersebut disampaikan Said Didu dalam diskusi virtual Narasi Institute bertajuk “Menata Ulang Sistem Manajemen Keuangan Negara Di Tengah Kasus Rafael dan TPPU 300 Triliun", Jumat (17/3).
“UU 17/2003 (tentang Keuangan Negara) itu yang membuat Kemenkeu menjadi super power,†ujar Said Didu mengungkit.
Ia mengurai, UU Keuangan Negara tersebut diprakarsai Sri Mulyani bersama Boediono yang pernah menjadi Gubernur Bank Indonesia.
Satu hal penting dalam regulasi tersebut, disebutkan Said Didu, adalah peranan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional Republik Indonesia/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas).
Ia menyatakan, fungsi kerja PPN/Bappenas dalam merencanakan penggunaan anggaran dihapus dari UU Keuangan negara sebelumnya.
“Bappenas itu kan tujuannya merencanakan anggaran. Kita mau bikin irigasi itu anggarannya Bappenas yang ngatur. Sekarang Kemenkeu,†katanya menyesalkan.
Karena pemberlakuan UU 17/2003 yang dibentuk Sri Mulyani, Said Didu melihat kerja perencanaan, pelaksanaan, dan juga pengawasan keuangan negara ada di satu pintu, yaitu Kemenkeu.
Sehingga, wajar menurutnya apabila ada skandal-skandal korupsi yang terjadi di internal atau direktorat-direktorat yang ada di Kemenkeu.
Termasuk, lanjut Said Didu, skandal transaksi gelap Rp 300 triliun di Kemenkeu, yang belakangan juga sempat diungkap oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Polhukam) Mahfud MD.
Mahfud bahkan menyebut ada sekitar 467 pegawai negeri sipil (PNS) yang diduga terlibat dalam transaksi gelap di Kemenkeu.
Menariknya, transaksi gelap Rp 300 triliun ini juga diungkap pejabat negara karena muncul informasi kekayaan pegawai pajak yang tidak wajar, yaitu Rafael Alun Trisambodo.
“Saran saya, tiga fungsi ini harus dipisahkan. Fungsi Bappenas dikembalikan. Kemenkeu sebagai bendahara negara (hanya) membagi, membelanjakan, dan memperoleh anggaran yang direncanakan perencana anggaran,†demikian Said Didu menambahkan.
BERITA TERKAIT: