Direktur Eksekutif Indonesian Public Institute (IPI) Karyono Wibowo menilai, gejala politik identitas akan kembali mewarnai dinamika politik 2024 semakin menggeliat. Selama kurang lebih satu dekade, jagad politik nasional diguncang oleh politik identitas yang diperparah dengan propaganda ala post-truth.
Disampaikan Karyono, pelbagai narasi yang menggiring opini publik ke dalam inkubator politik SARA bertebaran di ruang publik. Aroma politik identitas semakin menyengat belakangan ini ketika kelompok islam politik yang tergabung dalam Ijtima Ulama mulai menampakkan arah dukungan kepada sejumlah tokoh yang digadang-gadang menjadi calon presiden 2024.
Klaim penilaian bahwa ada tokoh yang dekat dengan ulama dan diangggap mewakili aspirasi umat merupakan pandangan terlalu subyektif dan tak tepat.
"Klaim bahwa Sandiaga dianggap dekat ulama, pandangan tersebut terlalu subyektif, penilaiannya tidak berdasarkan realitas obyektif. Alasan dan pertimbangannya lebih menonjol kepentingan politik, kekuasan dan sentimen kelompok yang dibalut agama," kata Karyono, kepada wartawan di Jakarta, Selasa (21/12).
Menurut Karyono, pengalaman pada pemilu presiden 2014 dan 2019 harus menjadi pelajaran masyarakat terutama umat islam agar tidak terjebak dalam tipu muslihat para petualang politik yang menggunakan agama sebagai jubah dan barang dagangan untuk mendapatkan keuntungan materi dan kekuasaan.
Faktanya, selama ini rakyat yang dirugikan, kerap menjadi korban dari konflik politik yang menggunakan isu SARA. Di era post truth, dampak penggunaan isu SARA lebih berbahaya dari isu lainnya. Daya rusaknya lebih dahsyat. Nilai-nilai toleransi dan kebhinnekaan tergerus. Kohesi sebagai satu bangsa mulai merenggang.
"Oleh karena itu, Sandiaga, Anies dan tokoh lainnya yang memiliki hasrat maju sebagai capres cawapres harus bisa mengendalikan syahwat politik untuk tidak melakukan politisasi SARA hanya untuk kepentingan elektoral," tegas Karyono.
Sandi, Anies dan siapapun yang berharap menjadi capres cawapres mendatang perlu mengambil hikmah dari fakta empiris yang menunjukkan pasangan capres yang diserang dengan isu SARA dalam dua kali pilpres masih unggul dan memenangkan pemilihan.
Tapi satu kali dalam pilgub DKI penggunaan politik identitas yang sangat massif memang berhasil menumbangkan Ahok sebagai kandidat yang triple minority. Dia bukan hanya minoritas dari agama yang dianut dan minoritas dari etnik yang ada di Indonesia. Dia juga bukan dari elit politik tulen ditambah lagi pendatang dari Bangka Belitung.
"Hal yang paling penting untuk menjadi perhatian semua pihak adalah bahwa politisasi SARA merusak demokrasi dan toleransi, membelah persatuan bangsa dan meninggalkan luka dalam yang sulit disembuhkan," pungkas Karyono.
BERITA TERKAIT: