Pada dasarnya, penugasan pemerintah kepada BUMN/Persero tak lain untuk kemanfaatan umum dengan tetap mempertimbangkan kelayakan usaha dan kemampuan keuangan BUMN/Persero. Namun hal ini tampak tidak terjadi pada Waskita Karya yang melakukan divestasi beberapa jalan tol di Indonesia.
"Divestasi saham jalan tol karena kesulitan keuangan/likuiditas persero? Ini bisa terjadi apakah karena belum layak dibangun, atau terjadi
markup nilai proyek, sehingga di atas kertas untung, faktanya persero merugi," kata Direktur Eksekutif Indonesia Future Studies (Infus), Gde Siriana Yusuf kepada
Kantor Berita Politik RMOL, Jumat (8/10).
Gde mengurai, kesulitas likuiditas dan divestasi persero adalah hal yang terpisah. Artinya, jika tidak dalam kesulitan likuiditas pun, divestasi dapat dilakukan menurut UU. Jadi perlu dirasionalkan, nilai beban utang ini dengan likuiditas yang didapat dari divestasi.
"Bisa saja divestasi ini
value-nya di bawah beban utang persero. Jika sepert ini, artinya terjadi inefisiensi dalam proyek atau operasional persero," jelasnya.
Deklarator Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) ini mengurai, ada aturan dalam undang-undang terkait privatisasi persero/BUMN, yakni dengan cara jual saham ke pasar modal, jual saham langsung ke investor, dan jual saham ke manajemen/karyawan.
Namun, dalam UU juga mensyaratkan keputusan privatisasi harus ada komite privatisasi yang tertuang dalam Pasal 79 UU BUMN beserta tata caranya.
"Seperti seleksi perusahaan-perusahan, direkomendasikan Menkeu, disosialisasikan ke masyarakat, dan dikonsultasikan ke DPR (Pasal 82). Jadi tidak semudah itu privatisasi atau divestasi dilakukan," lanjutnya.
"Tujuan Persero menurut UU itu mengejar keuntungan, bukan membuat persero menjadi babak-belur keuangannya. Padahal BUMN/Persero diharapkan dapat membantu kas negara," tandasnya.
BERITA TERKAIT: