Arief mengurai, ada beberapa hal yang mendasari kemungkinan bencana ekonomi tersebut.
Pertama, untuk mendapatkan atau memenangkan proyek di PUPR, kata Arief Poyuono, para kontraktor swasta harus setor 20 persen dari total nilai proyek.
"Padahal proyek infrastruktur tersebut harganya sudah di-
mark up," kata Arief Poyuono kepada
Kantor Berita Politik RMOL, Senin (12/4).
Kedua, lanjut Arief, jika BUMN Karya yang mengerjakan infrastruktur, fee diambil dari para sub kontraktor pada BUMN Karya.
Selain itu, untuk menambah fee bagi para oknum PUPR dan BUMN Karya, para vendor dan sub kontraktor swasta disebutnya memasukkan harga mahal untuk barang dan jasa yang disubkan pada BUMN Karya karena untuk fee para oknum BUMN Karya dan PUPR.
"Selain itu juga, banyak proyek-proyek fiktif di BUMN Karya yang membuat tagihan ke BUMN Karya," jelasnya.
"Belum lagi proyek infrastruktur listrik yang juga memberatkan keuangan PLN karena hampir 30 persen dari nilai proyek itu mengalir pada para broker dan mafia proyek listrik di PLN dan departemen terkait," sambung Arief Poyuono.
Pun demikian dalam pembangunan infrastruktur lain, seperti bandara dan pelabuhan. Ia menjelaskan, nilai proyek pembangunan bandara dan pelabuhan banyak yang di-
mark up dan tidak disertai studi kelayakan yang sesuai.
Hasilnya, kata dia, banyak pembangunan infrastruktur yang mangkrak. Bahkan bila selesai pun tidak memberikan dampak positif untuk pengembalian dana pembangunannya.
Hal itu terbukti sepanjang periode pertama Jokowi memerintah, pembangunan infrastruktur tidak bisa mengangkat nilai pertumbuhan ekonomi nasional hingga kisaran 7 persenan.
"Jadi cita-cita mulia Jokowi mencanangkan pembangunan infrastruktur untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi tidak memberikan efek besar. Malah akan menjadi bencana ekonomi dan ancaman krisis ekonomi akibat macetnya pengembalian dana pinjaman bagi proyek-proyek infrastruktur," tandasnya.
BERITA TERKAIT: