Salah satunya ketika Filipina menggugat China atas klaimnya di Kepulauan Spartly. Pada 2013, kasus tersebut dibawa Filipina ke Permanent Court of Arbitration (PCA) di Den Haag, Belanda. Membutuhkan waktu 3 tahun untuk akhirnya persidangan membuahkan hasil.
Hal ini juga disampaikan oleh Gurubesar Ilmu Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI), Hikmahanto Juwana dalam acara diskusi bertajuk “Jalan Keluar Sengketa Natuna†yang digelar Ikatan Advokat Indonesia di Resto Tjikini 5, Jakarta Pusat, Kamis (9/1).
Menurutnya, polemik pelanggaran hak berdaulat oleh China di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia di Laut Natuna Utara sebenarnya sudah ikut terjelaskan dalam PCA 2016.
"Dan waktu itu sebagai tergugatnya adalah China, tapi China enggak mau," ujar profesor tersebut
Hikmahanto mengurai, selama persidangan PCA, China tidak mau datang. Alih-alih menghadiri sidang, China justru meningkatkan kehadirannya di Laut China Selatan. Mulai dari mengerahkan nelayannya hingga menempatkan Coast Guardnya.
Namun, tepatnya pada 12 Juli 2016, tribunal arbitrasi PCA menyebutkan bahwa klaim China atas nine dashed-lines di Laut China Selatan tidak sah.
Alhasil, kasus tersebut dimenangkan oleh Filipina. Filipina pun dinyatakan bebas mengambil ikan di perairannya.
Kendati demikian, kata Hikmahanto, China enggan mengakui putusan tersebut.
BERITA TERKAIT: