Tidak sedikit yang menilai Jokowi praktis gagal total dan bahkan tidak mampu mempertahankan hasil-hasil dan kondisi ekonomi yang sudah tercapai saat ditinggalkan Presiden SBY, kecuali penambahan infrastruktur dan itu pun meninggalkan catatan negatif tersendiri. Catatan itu adalah ada proyek-proyek infrastruktur yang dibangun terlalu ambisius, tanpa kajian yang memadai, projek kontroversial, membengkakkan utang negara dan BUMN,
cost-nya terlalu mahal (diduga
mark up), pemborosan, kualitasnya rendah, dan proyek-proyek yang mangkrak/dihentikan/ditunda.
Pemerintahan Jokowi, khususnya tim ekonominya, tidak meletakkan dasar-dasar atau strategi baru yang jitu. Pada hakekatnya tidak ada perubahan karena yang ada justru menggalakkan utang dan bekerja tanpa perencanaan dan strategi yang matang. Utang yang janjinya akan di kurangi dan diakhiri malah bertambah rata rata Rp 1,25 triliun perhari, termasuk
weekend. Meski demikian, utang Indonesia dicitrakan kecil dibandingkan dengan utang negara lain, tanpa membandingkan dengan kemampuannya membayar. Atau pertumbuhan ekonomi yang hanya dikisaran 5%, tetapi selalu dihembuskan sebagai “hebat†dan sukses Jokowi.
Padahal daya beli menurun, ekonomi sedang dalam tekanan defisit transaksi berjalan yang melebihi 3% dari PDB, defisit neraca perdagangan yang memburuk, defisit APBN, dan lain-lain. Dan Anda dapat melanjutkan daftar kegagalan diatas seperti kontroversi dalam cara atau metode menghitung angka kemiskinan, angka pengangguran, investasi, kegagalan swasembada sembako, penurunan cadangan devisa, program pengampunan pajak yang hasilnya jauh dibawah target, pertumbuhan ekspor-impor yang mencemaskan, dan sebagainya.
Semua masalah dan kegagalan ekonomi dalam mencapai target ataupun janji di atas akan dipropagandakan atau dicitrakan sebagai kesuksesan pemerintah yang membanggakan dan “dikagumi duniaâ€.
Bagaimana mungkin hal-hal yang masih bermasalah bahkan pembalikan dari keadaan yang sebenarnya itu bisa diterima publik sebagai keberhasilan ekonomi pemerintahan Jokowi? Sehingga harus dilanjutkan satu periode lagi?
Kurs rupiah yang melemah 12% sejak awal tahun 2018 di tafsirkan sebagai menguntungkan keuangan negara. Pokoknya tidak ada kosa kata pemerintah gagal atau salah. Atau proses divestasi PT Freeport yang masih jauh dari kesepakatan apalagi penyelesaian tapi sudah diklaim pemerintah Jokowi sebagai satu satunya pemerintah yang berhasil dan mampu melaksanakan divestasi 51% saham Freeport.
Kembali pertanyaannya adalah bagaimana mungkin hal hal yang kontroversial itu seakan akan sebagai sukses pemerintahan Jokowi? Atau kontroversi projek reklamasi Pluit dan kota idaman Meikarta yang sempat bersentuhan dengan KPK, sehingga publik sering dibuat bingung dengan pertanyaan “sebetulnya bagaimana
sih?; yang benar siapa
sih?â€
Pada hemat kami, politik penyesatan ini telah berhasil,
at least to some extents<.i>, membangun citra bagus dan sukses pemerintahan Jokowi. Sekali lagi bagaimana hal hal yang begini kontroversial bisa terjadi?
Banyak dugaan yang nampaknya telah dilakukan pemerintah untuk membangun citra “sukses†ekonomi itu. Pertama, dengan cara selalu mendengungkan dan mengklaim sukses, sukses, dan sukses. Meskipun sebetulnya masih bermasalah. Yang penting rakyat di cekoki dengan propaganda sukses dan sukses.
Kedua, membantah semua kritikan dan kalau perlu melakukan kritik balik, dan bahkan bila perlu melakukan “serangan†termasuk melaporkan ke aparat penegak hukum. Bahkan, kabarnya para pimpinan partai oposisi sering menerima laporan/keluhan dari daerah tentang adanya ancaman dari aparat penegak hukum atau politisi yang dekat dengan pejabat hukum, kepada pejabat yang bukan berasal dari parpol pendukung Jokowi.
Ketiga, kami menduga atau lebih tepatnya meyakini bahwa pendukung incumbent menggalang dukungan konsultan dan berbagai macam lembaga dalam dan luar negeri, media tv/ cetak/onlines, pelaku pasar dll untuks menyuarakan dan menyitrakan sukses ekonomi Jokowi.
Keempat, dugaan akrobat data dan permainan statistik atau tafsirnya. Biasanya cara cara diatas dilengkapi dengan “pendekatan†keamanan, penegakan (permainan) hukum, politik, ancaman pemeriksaan pajak, intelijen, hadiah jabatan dll sehingga di harapkan publik percaya atau pura-pura percaya mengikuti opini dan alur cerita penguasa.
Tujuan dari permainan ini adalah memenangkan pilpres untuk satu periode lagi. Tetapi biaya atau ongkos dari permainan ini sebenarnya mahal, amat mahal. Karena instrumen atau lembaga atau media apapun yang digunakan tentu tidak gratis dan langsung atau tidak langsung membebani keuangan atau aset negara. Misalnya, untuk mengakomodasi pendukung, jabatan direksi dan komisaris BUMN membengkak yang tentunya memberatkan keuangan BUMN. Atau cerita (barangkali lebih tepat disebut dongeng) mobil nasional ESEMKA yang tiba-tiba muncul lagi jelang pilpres. Pertanyaan intinya adalah mobnas atau mobcin? Rupanya ada yang ingin mengulang sukses seperti jelang pilpres yang lalu. Diduga kuat dongeng mobnas ini mengandung elemen kebohongan yang luar biasa.
Atau lembaga lembaga survei atau polling politik yang tiada henti hentinya memompakan hasil hasil surveynya yang tendensius meskipun pemilunya masih lama dan sumber pembiayaannya tidak jelas tapi lahiriah amat berkecukupan. Dan Masih banyak isu-isu lain yang mengandung unsur kebohongan atau tujuan pencitraan sukses pemerintahan Jokowi yang bisa diangkat disini.
Senjata atau jembatan antara apa yang sebenarnya terjadi dengan pencitraan sukses palsu itu bernama kebohongan dan kebohongan yang gencar serta terus menerus dilontarkan seakan akan menjadi kebenaran, sampai-sampai yang berbohong akhirnya percaya terhadap kebohongannya sendiri. Bahkan para pembohong itu sudah nyaman dan tidak lagi merasa risih apalagi malu.
Sementara itu masyarakat awam dibuat bingung bahkan berselisih tajam dalam membaca atau menafsirkan keadaan ekonomi Indonesia dalam pemerintahan Jokowi. Tapi kebohongan tidak akan langgeng. Hanya soal waktu saja. [***]
Penulis adalah pengamat ekonomi “sontoloyoâ€
BERITA TERKAIT: