Yudi Latif: Saya Tidak Memihak Salah Satu Kubu Politik

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/ruslan-tambak-1'>RUSLAN TAMBAK</a>
LAPORAN: RUSLAN TAMBAK
  • Rabu, 29 Agustus 2018, 12:46 WIB
Yudi Latif: Saya Tidak Memihak Salah Satu Kubu Politik
Yudi Latif/Net
rmol news logo . Cendekiawan, pemikir Islam dan kenegaraan, Yudi Latif menegaskan tidak memihak salah satu kubu politik pada Pilpres 2019.

"Berhubung nama/karya saya mulai dicatut (dimanfaatkan) untuk saling serang dalam kontestasi politik, pernyataan otentik perlu saya tegaskan. Bahwa saya tidak memihak salah satu kubu politik. Saya hanya memihak Pancasila," kata Yudi seperti dilansir dari akun Facebook, Rabu (29/8).

Jelas Yudi, dia akan mendukung kubu yang perbuatan dan programnya sejalan dengan Pancasila, dan sebaliknya.

"Kubu mana pun kalau perbuatan dan programnya sejalan dengan Pancasila akan saya dukung; bila bertentangan saya tak akan segan melancarkan kritik," terangnya.

Pada 24 Agustus 2018 lalu, tersebar tulisan Yudi Latif dengan judul, "Yudi Latif: Munculnya Arus Besar Anti Intelektualisme Di Indonesia".

Yudi Latif PhD mengingatkan kita, civil society, bahwa Jokowi tidak berdiri sendirian. Kemunculan Jokowi sebagai pemimpin negara membawa arus besar anti-intelektualisme dalam masyarakat. Banyak orang yang tidak lagi menghargai pikiran, bahkan mengembangkan sinisme terhadap kedalaman pengetahuan. Para cerdik cendekia sendiri terbawa arus keraguan ini dengan tidak memercayai nilai pikirannya; ikut-ikutan mengagumi sensasi tindakan sesaat seperti pembakaran perahu yang telah lama terampas oleh menteri baru.

Gelombang anti-intelektualisme ini sebagian merupakan arus balik dari pengkhianatan intelektual, tetapi utamanya karena desakan kebutuhan sehari-hari yang tidak segera dipenuhi oleh konsepsi-konsepsi pemikiran. Seperti kata Bung Karno, “Orang lapar tidak bisa segera kenyang hanya dengan diberikan kitab konstitusi.” Pelarian dari kesulitan hidup ini dininabobokan oleh candu hiburan-hiburan dangkal-miskin pikir yang disajikan secara intensif dan masif lewat siaran televisi kita; membudayakan semacam “the cult of philistinism” (pemujaan terhadap budaya kedangkalan oleh perhatian yang berlebihan terhadap interes-interes material dan praktis).

Peluluhan daya pikir ini memberi prakondisi bagi supremasi pemodal untuk mengarahkan pilihan rakyat lewat kampanye media. Kekuatan pemodal yang cenderung menepikan kekuatan kritis bertemu dengan kecenderungan banalitas arus bawah. Lewat manajemen impresi, subtansi pemikiran dikalahkan oleh kesan pencitraan.

Maka, para pemimpin terpilih mencerminkan defisit pemikiran. Dengan begitu, negara tidak memiliki topangan pemikiran dan pengetahuan yang kuat. Sengkarut negara mencerminkan sengkarut pemikiran. Hal ini tecemin mulai dari ketidakberesan hasil amandemen konstitusi, produk perundang-undangan, desain institusi-institusi demokrasi, hingga ketidaktepatan pilihan kebijakan dan orang
.
[rus]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA