Hal yang serupa sebenarnya juga terjadi terhadap pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, walau tampak di permukaan jauh lebih teduh disebabkan para aktor utamanya lebih bisa mengendalikan diri .
Apa yang disampaikan Mahfud MD menjadi viral disebabkan muncul dalam versi Youtub sehingga mudah di-
share dan bergerak serta menyebar dalam kecepatan yang luar biasa.
Beragam komentar muncul, baik dari masyarakat awam, maupun kelompok terpelajar. Bila disederhanakan, maka komentar-komentar tersebut dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian: Pertama, Mahfud Mendapat apresiasi disebabkan integritas moralnya.
Lebih dari itu, sejumlah tokoh juga melihat keterbukaannya sebagai sebuah cara bagaimana ia ingin menegur elite politik sekaligus mendidik masyarakat luas. Hal ini mendapatkan legitimasi kuat bila dikaitkan dengan latar belakangnya sebagai seorang pendidik dan profesinya sebagai seorang dosen.
Kedua, apa yang terjadi dalam proses pemilihan calon wakil presiden yang berujung dengan terlemparnya Mahfud MD digantikan oleh KH. Ma'ruf Amin, merupakan sebuah pertarungan biasa. Mahfud dinilai sebagai orang yang kalah cerdik dengan seniornya di NU dalam bersiasat dan melakukan bermanuver politik.
Masalah sebenarnya justru terletak pada dibukanya masalah ini apa adanya ke publik. Biasanya pertarungan politik seperti ini hanya menjadi konsumsi elite, dan beredar secara terbatas dan sepotong-sepotong, sehingga melahirkan berbagai versi cerita. Hanya seorang peneliti yang tekun yang mampu merangkai
puzzle yang berserakan sehingga membentuk gambar yang mendekati kebenaran.
Ketiga, Mahfud dinilai sebagai politisi yang naif. Pandangan seperti ini umumnya datang dari mereka yang memahami rekam jejaknya. Mahfud MD adalah seorang yang ikut mendirikan PAN, kemudian menjadi pengurusnya. Ia kemudian menjadi anggota DPR dari PKB. Ia pernah menjadi mentri di era Presiden Gus Dur.
Setelah mengambil jarak dari dunia kepartaian ia dipercaya menjadi Ketua Mahkamah Konstitusi (MK). Karena itu seharusnya ia sadar betul risiko menjadi seorang politisi. Apa lagi menjadi seorang bakal calon wakil presiden. Kata pepatah, semakin tinggi pohon semakin kuat angin yang menerpanya.
Bagaimana bila masalah ini dilihat secara teoritis? Teori politik khususnya terkait dengan proses-proses demokrasi sebagian besar muncul dari pengalaman Barat dalam mengolahnya negara dan ditulis oleh penulis Barat. Karena itu spirit sekularisme mendominasi teori-teori yang dilahirkannya. Tidak ada dimensi Tuhan di dalamnya, dan sedikit sekali menyinggung masalah moral.
Diantara teori-teori terkait yang banyak dirujuk antara lain: Who gets what, when, and how yang ditulis oleh Harold Dwight Lasswell (1936). Dari judulnya saja sudah tergambar isinya; siapa, mendapat apa, kapan, dan bagaimana caranya.
Sejumlah pemikir berpendapat bahwa politik merupakan pertarungan atau perang tanpa senjata. Sebagaimana sudah menjadi fatsun, di dalam perang tipu-muslihat bukan saja dibenarkan atau dihalalkan, akan tetapi lebih dari itu juga dianggap sebuah kehebatan atau keunggulan sehingga dengannya perang dapat dimenangkan.
Menariknya, berbicara masalah pertarungan politik dikaitkan dengan moralitas, para politisi justru banyak Merujuk dan mengikuti nasehat Machiavelli. Ada dua buku yang terkait masalah ini yang ditulis oleh penulis Itali yang memiliki nama lengkap Nicolo Machiavelli: The Prince (1532) dan The Art War (1521). Secara umum pandangannya mengajarkan 'tujuan menghalalkan cara'. Meskipun kebanyakan para politisi mempraktekkan ajarannya, akan tetapi mereka enggan mengakuinya.
Para pemimpin dan para penguasa yang banyak berbicara dan mempraktikkan moralitas hanya bisa ditemukan pada diri mereka yang taat menjalankan agama, dan melihat kepemimpinan sebagai bagian dari amanah dan memiliki nilai ibadah. Dalam Islam bisa ditemukan pada diri Khalifahurasyidin (empat khalifah yang pertama), Umar bin Abdul Aziz, dan Salahuddin Al Ayubi.
Walaupun dalam Islam sendiri banyak sekali panduan moral terkait dengan masalah kepemimpinan, akan tetapi kebanyakan para pemimpin yang lahir dari komunitas Islam justru lebih suka mempraktekkan ajaran Machiavelli. Masih mungkinkah kita mengharapkan lahirnya para pemimpin moralis di era modern kini seperti Umar bin Abdul Aziz atau Salahuddin Al Ayyubi?.
Penulis adlah Direktur Eksekutif CDCC (Center for Dialogue and Cooperation among Civilization)
BERITA TERKAIT: