Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Pilpres Dan Masa Depan Demokrasi Kita

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/dr-muhammad-najib-5'>DR. MUHAMMAD NAJIB</a>
OLEH: DR. MUHAMMAD NAJIB
  • Sabtu, 11 Agustus 2018, 23:18 WIB
Pilpres Dan Masa Depan Demokrasi Kita
Ilustrasi/Net
“KEJUTAN…….” itulah kata yang paling banyak digunakan baik oleh media-media formal maupun para netizen di media sosial ketika melihat dua bakal calon wakil presiden baik yang dipilih oleh pejawat Joko Widodo maupun penantangnya Prabowo Subianto.

Nama Mahfud MD masih diyakini oleh berbagai pihak akan menjadi cawapres pejawat sampai siang hari sebelum akhirnya pada malamnya muncul nama Ma'ruf Amin.

Munculnya nama Ma'ruf Amin tidak bisa dilepaskan dari keberatan PKB dan PB NU. Meskipun keluarga Gus Dur berjuang dan membela Mahfud akan tetapi tak kuasa mempertahankannya.

Sementara di kubu penantangnya, negosiasi empat partai politik: Demokrat, Gerindra, PAN, dan PKS mengalami jalan buntu. Sulitnya menyepakati nama cawapres disebabkan masing-masing menyodorkan nama.

PKS mengusulkan Salim Segaf Aljufri, Demokrat menyodorkan nama Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), sedangkan PAN menyodorkan nama Zulkifli Hasan atau Ustad Abdul Somad (UAS). Bagi PAN, didorongnya UAS yang bukan orang partai diharapkan menjadi jalan keluar yang yang bisa diterima semua partai.

Sayang tawaran 'jalan tengah' PAN tidak mendapat respon positif dan tetap empat partai yang bergabung mempertahankan jagonya masing-masing. Hal ini terjadi karena masing-masing ingin mendapatkan efektif ekor jas. Dengan kata lain, partai yang memiliki capres atau cawapres diyakini akan ikut terdongkrak di dalam Pileg.

Menghadapi kebuntuan ini, PAN sempat mencoba untuk menawarkan jalan keluar baru. Sekjen PAN secara terbuka menggunakan istilah harus dimulai dari 'meja kosong'. Istilah 'meja kosong' dapat dimaknai sebagai pembicaraan nama cawapres  harus diambil dari orang non partai dan dimulai dari kriteria yang ideal agar pasangan yang terbentuk dapat mengalahkan petahana.

Meskipun secara teoritisnya tawaran ini cukup bagus, akan tetapi para petinggi partai tampaknya punya logikanya sendiri sehingga tidak tertarik untuk menghadirkan nama baru.

Lobi-lobi bilateral dilakukan, Prabowo menemui satu persatu tokoh-tokoh PAN, PKS, dan Demokrat. Prabowo akhirnya mantap menggandeng AHY. Sayang ketika dikomunikasikan, baik PAN maupun PKS menolaknya.

Dalam situasi seperti ini, muncul nama Sandiaga Uno. PAN maupun PKS tidak menolak nama ini, sementara Demokrat yang merasa sudah bersepakat bereaksi keras. Mengingat waktu semakin mepet,  Prabowo mengambil keputusan cepat dengan mengabaikan kekecewaan Demokrat. Meskipun demikian akhirnya Demokrat tetap bergabung.

Munculnya nama AHY yang kemudian disalip Sandiaga Uno mengungguli kandidat cawapres lainnya diyakini banyak pihak dikaitkan dengan persoalan kesiapan dukungan logistik dalam kontestasi Pilpres yang sangat mahal.

Bagaimana jika masalah ini diletakkan dalam bingkai masa depan demokrasi kita secara teoritis ? Demokrasi hanya bisa berjalan dalam masyarakat yang rasional, atau jika dibalik sulit sekali bisa berdiri dalam masyarakat yang emosional. Itulah sebabnya adu program didorong, sementara penggunaan isu-isu primordial perlu dihindari.

Jokowi yang mendapatkan dukungan mayoritas partai sekuler, mendapat serangan bertubi-tubi sebagai anti Islam. Dipilihnya KH. Ma'ruf Amin bukan saja mengakibatkan peluru yang selama ini digunakan untuk menyerangnya tidak efektif lagi. Akan tetapi, petahana akan lebih banyak menggunakan narasi ke-Islaman untuk merebut hati masyarakat yang selama ini menjauhinya.

Sebaliknya Prabowo yang didukukung oleh dua partai yang memiliki basis dukungan kuat masyarakat Islam dan para ulama, justru memilih Sandiaga Uno yang dikenal sebagai seorang pengusaha yang kompetensinya dalam bidang ekonomi.

Dengan usianya yang relatif muda dan citra diri yang terbentuk mewakili generasi muda, maka kampanyenya nanti tentu tidak akan jauh dari isu ekonomi dan program yang dapat memikat generasi milenial. Dengan kata lain, isu agama tidak akan banyak muncul ke permukaan. Dengan demikian akan terjadi penurunan tensi yang diakibatkan oleh sentimen primordialisme.

Dengan demikian, jika di kubu pejawat muncul peningkatan narasi ke-Islaman selama kampanye, sedangkan di kubu penantangnya terjadi penurunan penggunaan isu agama. Karena itu kekhawatiran akan mengentalnya sentimen primordialisme di dua kelompok pendukung tidak akan terjadi.

Dalam kondisi seperti ini kita boleh optimistis  Pilpres akan berlangsung Damai,  dan Bangsa Indonesian boleh berbangga dapat terus mempertahankan demokrasi, meskipun banyak hal terjadi begitu saja tanpa direncanakan dan di luar kontrol kita. Mungkinkah ini salah satu tanda Tuhan Amat sayang terhadap Bangsa dan negeri ini? [***]

Penulis adalah Direktur Eksekutif Center for Dialogue and Cooperation among Civilization (CDCC)

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA