Tentu tujuan KPB ini untuk menenangkan masyarakat. Bagi saya ini berarti pemerintah menyadari bahwa ada sesuatu yang serius dalam perekonomian Indonesia yang membuat pelaku pasar gelisah, sehingga tidak tradisinya menerbitkan KPB.
Sayangnya argumentasi dan pernyataan pernyataan yang dikemukakan dalam KPB ngambang dan tidak
full disclosure sehingga bagi orang yang mengerti ekonomi seketika saja tahu bahwa KPB itu semacam propaganda untuk menutup kepanikan sekaligus mengantisipasi ancaman krisis. Paling tidak, dengan cara KPB ini pemerintah telah menyeret atau mencoba berbagi tanggung jawab dengan BI, OJK dan LPS.
Bagaimana bukan propaganda bila hal-hal yang paling bermasalah sekarang ini yaitu defisit Transaksi Berjalan, dalam KPB ini hanya disinggung (ditutupi?) dengan mengatakannya sebagai berikut. : "........ defisit meningkat pada Triwulan I 2018 menjadi 2,1 persen dari PDB tetapi masih lebih rendah dibandingkan Triwulan I tahun 2013 ..........". Semestinya dibandingkan dengan targetnya dan dengan tahun sebelumnya (2017). Begitu pula pertumbuhan ekonomi Triwulan I 2018 yang hanya disebutkan tumbuh 5,06 persen tanpa perbandingan dengan targetnya (5,4 persen) ataupun tahun sebelumnya.
Disebutkan bahwa defisit Transaksi Berjalan tahun 2018 diperkirakan di bawah 2,5 persen dari PDB sehingga masih aman karena tidak melebihi 3 persen dari PDB. Argumentasi-argumentasi normatif dan formalitas seperti ini juga biasa digunakan pemerintah untuk menjustifikasi defisit APBN yang maksimum 3 persen PDB dan utang negara yang maksimum 60 persen PDB sesuai UU Keuangan Negara No. 17/2003.
KPB juga membandingkan keterpurukan kurs rupiah dengan mata uang Turki dan Brazil, bukannya dengan sesama negara ASEAN. Sedangkan terhadap jatuhnya IHSG di BEI disebutkan sebesar 5,98 persen masih terkendali dan itu karena keluarnya arus modal asing dari pasar saham. Sayangnya tidak disebutkan berapa modal asing yang keluar dari pasar saham atau ekonomi Indonesia pada umumnya. Singkat kata, KPB itu lebih tepat disebutkan sebagai permainan kata-kata dan kalimat tetapi tidak
full disclosure, untuk tidak mengatakan propaganda bohong.
Jujur saja kami kasihan atau prihatin pada BI, OJK dan LPS yang berdasarkan sistem keuangan nasional sekarang ini seharusnya independen, kini dibawa-bawa untuk ikut bertanggung jawab pada kondisi perekonomian pada umumnya.
Pada saat yang bersamaan, dalam dokumen KPB ini juga disebutkan adanya UU 9/2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis yang memberikan kewenangan istimewa bagi pemerintah, BI, OJK dan LPS bertindak dalam hal terdapat ancaman krisis. Kewenangan istimewa ini diperkuat atau dipermudah penggunaannya sebagaimana termuat dalam UU APBN 2018 yang juga sudah kami kritisi karena mengandung semangat moral hazard yang tinggi.
Jadi bukan tidak mungkin atau cukup berdasar bagi kami yang sering mengingatkan bahwa tahun politik identik dengan tahun krisis ekonomi seperti tahun 1998 dengan skandal BLBI, tahun 2008 dengan skandal Bank Century, dan tahun 2018 dengan skandal "tanyalah pada ahlinya/pemainnya".
[rus]
Penulis adalah mantan Menteri Keuangan RI
BERITA TERKAIT: