Pancasila Dan Harmoni Anak Bangsa

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/inggar-saputra-5'>INGGAR SAPUTRA</a>
OLEH: INGGAR SAPUTRA
  • Selasa, 08 Mei 2018, 18:30 WIB
KEBESARAN jiwa dan lapang dada menghadapi perbedaan. Inilah kunci yang hadir dalam setiap cerita mengenai kepahlawanan anak bangsa di masa lalu. Kita melihat betapa tajam perbedaan pandangan Soekarno dan Natsir. Mereka berdebat, beradu gagasan, konflik pemikiran di ruang terbuka pada masa pra kemerdekaan. Soekarno, tokoh nasionalisme yang teguh memegang prinsipnya, termasuk cara pandangnya dalam mengkritik Islam. Natsir, kita semua tahu betapa gigihnya tokoh Masyumi ini dalam memperjuangkan gagasan Ke-Islaman.

Mereka bertarung di ruang publik melalui media massa sebagai wahana 'tanding' gagasan. Hal yang diperdebatkan sungguh menarik, yaitu bagaimana relasi agama dan negara. Debat berkualitas yang diselingi nuansa ilmiah, penuh argumentasi yang kritis sehingga terkadang dinilai sangat panas bagi keduanya. Majalah Panji Islam dan Al Manar menjadi saksi pertarungan dua bapak pendiri bangsa ini.

Soekarno memulainya dengan menulis mengapa Turki menjadi negara sekuler. Menurutnya, sekulerisasi menjadi penting dan menarik dibahas, sebab Turki dengan sekulerisasinya menjadi negara modern.Tanpa harus menghapus agama, hanya agama diserahkan urusannya kepada ranah privat, bukan ranah negara. Soekarno melanjutkan, konsep ini seperti umumnya negara Barat yang sukses maju dan modern karena menerapkan paham sekuler.

Natsir, sang pejuang Islam dengan nasionalisme yang tinggi menolak pandangan Soekarno. Menurutnya, negara perlu mendapatkan suntikan dan inspirasi nilai Islam. Ini sesuai perintah Allah yang meminta setiap hambanya untuk mengabdi kepadanya. Jadi kurang tepat jika urusan kenegaraan dipisahkan dari urusan keagamaan, justru keduanya harus sejalan dan menyatu. Ringkasnya "Negara itu alat, bukan tujuan. Urusan kenegaraan dan agama harus jadi satu".

Pertarungan gagasan ini menjadi semakin menarik, ketika mereka bertemu. Mungkin sebagian orang akan menyangka, keduanya akan saling diam, saling berkelahi dan meluapkan segala emosinya. Tapi Anda justru salah sangka jika berpikir seperti itu. Justru secara rendah hati, keduanya mau saling bersalaman dan menyapa ketika bertemu. Seolah tak ada dendam dan debat di atas sudah dilupakan. Soekarno tak segan memuji Natsir sebagai gurunya dan sebaliknya. Mereka sama-sama mau berjuang, merumuskan bagaimana negara ini di masa depan.

Kondisi hampir serupa terjadi dalam konflik Natsir dan Pramoedya Ananta Toer. Setiap orang pasti paham, Natsir identik dengan gerakan Islam, sementara Pram seringkali diidentikkan dengan kelompok kiri, sebut saja komunisme dalam perspektif rezim Orba. Keduanya jelas sulit bertemu dan lebih banyak yang tidak sejalan. Pram pernah mengkritik tulisan Natsir yang disebutnya plagiarisme. Keduanya kemudian seperti terlibat konflik. Tapi siapa sangka, Pram justru menyarankan anaknya yang ingin menikah untuk belajar agama kepada Natsir.

Mengapa Sibuk Membelah Diri?

Belakangan ini, sikap lapang dada justru semakin hilang dari masyarakat kita. Pasca Pilpres 2014, masyarakat Indonesia seperti terbelah dua. Konflik para "fans" Jokowi dan Prabowo agaknya masih belum usai. Kelompok Jokowi masih saja sibuk melempar api dengan terlihat kurang simpatik terhadap gerakan Islam dalam kebijakannya. Ada kesalahan yang kembali terulang, sebagaimana terjadi pada masa Orde Baru bahwa gerakan Islam adalah musuh bagi negara. Sementara fans Prabowo yang dominan kelompok Islam, memandang Jokowi sebagai orang yang selalu salah dalam kebijakannya, dan menjadikan pemimpin tertinggi Indonesia sebagai musuh.

Kondisi di atas semakin panas ketika kita melihat situasinya di dunia media sosial. Setiap orang bebas berkomentar, dari yang paling ilmiah sampai asal bicara. Kata-kata pedas, sinis, bahasa binatang, kata yang mengandung ancaman dan beragam berita dengan sumber tidak jelas dijadikan acuan. Kita Semua tambah runyam dengan beredarnya hoax sehingga situasi makin tidak terkendali. Merasa paling benar, itulah agaknya yang dirasakan kedua belah pihak yang berkonflik.

Pembelahan politik semakin tidak menentu ketika berkembang kasus penistaan agama yang dilakukan eks Gubernur DKI Jakarta, Basuki Thajaja Purnama (Ahok). Isu agama membelah bangsa yang katanya berdasarkan Pancasila. Agama diseret ke dunia politik dan membuat semua mudah sekali berteriak jihad. Tak ada upaya duduk semeja, mencoba berdialog dan membangun kesadaran, kita semua anak bangsa. Politik pembelahan membuat masing-masing pihak merasa paling benar, paling Pancasilais dan berdiri dalam posisi berseberangan.

Sila Ketuhanan seakan dimaknai, Anda agama apa saya agama apa. Kemanusiaan yang adil dan beradab, keadaban itu seolah hilang dengan kata-kata tidak santun dalam perang di dunia sosial media. Persatuan Indonesia semakin terancam, karena konflik agama di Pilkada DKI beberapa kali terlihat menyeret daerah lainnya sebagaimana muncul dalam protes lilin di berbagai daerah. Kerakyatan dan musyawarah sudah terkubur seiring tertutupnya pintu dialog antara kedua belah pihak. Keadilan sosial pun kandas sebab masalah politik yang mengobarkan perbedaan dan menutup ruang harmoni, berdampak kepada urusan sosial, ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.

Selesai Pilkada pun masalah pembelahan tak kunjung selesai. Pidato pribumi Gubernur DKI Jakarta terpilih, Anies Baswedan yang mengutip kata pribumi berbuntut laporan ke kepolisian. Padahal jika mau menyimak dengan jernih dan berdiskusi ilmiah, konteks pribumi bisa diperbincangkan ditempatkan Anies dalam konteks apa dan bagaimana. Tapi air keruh rupanya terus dipancing dengan bertameng dunia politik. Maka masalah ini, tak kunjung kelar dan perasaan berbeda sebagai bangsa Indonesia lebih menonjol dibandingkan perasaan kita satu, Indonesia.

Apakah Kita BerBhineka Tunggal Ika?

Melihat kondisi pembelahan politik yang semakin tak beretika, penulis melihat kita sebaiknya mulai berfikir jernih. Para pendiri bangsa sudah sangat baik mencontohkan, hidup berbeda boleh, tapi semangat kebangsaan jangan hilang. Berbeda pandangan silahkan, tapi hati harus tetap dingin. Kelapangan dada menerima kekalahan atas sebuah kompetisi politik itu penting. Setiap kontestasi menyimpan dua pilihan, menang atau kalah. Itu sebuah hal wajar dan biasa, jadi jangan sibuk menyimpan dendam atas kekalahan yang ada.

Setelah selesai berkompetisi politik, marilah berjabat tangan seperti jabat tangan Aidit dan Natsir, sebagaimana pujian Soekarno kepada Natsir atau pilihan Pram agar sang anak tak malu belajar kepada Natsir. Kita berdebat panas terhadap pilihan dasar negara sebagaimana konflik tujuh kata dalam Pilkada Jakarta. Tapi tak ada dendam para ulama ketika merelakan tujuh kata dihapus menyusul protes kalangan non-Islam. Inilah politik sejati, kesediaan secara ikhlas menerima kekalahan dan tidak terus sibuk menciptakan pembelahan dan perbedaan.

Sebagai sesama anak bangsa, mari sudahi politik yang tidak beretika. Berhentilah menghujat sesama putra-putri terbaik Indonesia di media sosial. Jika itu dianggap proxy war terhadap Indonesia, mari meyakinkan diri Pancasila sebagai jiwa bangsa akan mampu menangkalnya. Kuncinya berusaha menahan diri dari mencelah, menghujat, mengkritik dengan kata tidak pantas sebab itu bukan bagian dari budaya ketimuran khas bangsa Indonesia. Sudah waktunya, kita bergotong royong membangun masa depan Indonesia.

Sebagai bangsa yang berPancasila, negara ini dibangun atas konsesus yang melibatkan tokoh agama. Jadi berhentilah membenturkan agama dan negara, tapi bawalah agama dan negara untuk hidup berdampingan. Kita akan jadi bangsa yang besar jika mampu mengelola perbedaan dan dinamika menuju terciptanya sebuah keharmonian. Egoisme kelompok harus dihentikan ketika ada misi yang lebih besar, membawa bangsa ini sesuai amanat pendiri bangsa. Menjadikan Indonesia sebagai negara yang adil, makmur, sejahtera lahir dan batin.[***]

*Penulis adalah pengajar Pancasila/Kewarganegaraan Universitas Mercubuana dan Universitas Jakarta.

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA