Lalu konsep ini dianggap kebenaran, kemudian diterjemahkan menjadi konsep desain kuis.
Bimsalabim, jadilah kuis. Apa bisa dan boleh begitu? Saya baru kali ini menemukan kuis salah berat seperti ini.
Menurut pustaka riset yang pernah saya baca dan lakukan, hukumnya haram. Dilarang keras. Itu gunanya konsep. Agar kuis tak sama dengan ngerumpi. Agar sains tak sama dengan ilmu gathuk. Bisa-bisa quick count tak lagi presisi, dan tinggal ilmu rumpi. IB merusak ilmu penelitian. Sebab, pemasangan paslon Jokowi - Prabowo disengaja melawan
make sense. Sama sekali tanpa reason. Reason itu adalah konsep yang gagal dalam analysis Syahganda tadi.
Jokowi berduet dengan Prabowo sukar diterima akal waras. Apalagi reason sains. Dan yang tak masuk akal itu yang menjadi konsep IB. Agaknya memakai paradigma minor Harold D Lasswell: pada dasarnya keputusan politik adalah
absurd, tidak disengaja. Sehingga faktor statik bisa diubah menjadi dinamik.
Yo ngawur Pak Bro.
Pertama, kita belum lupa
toh, Prabowo mencabut dukungan kepada Demiz karena Demiz mengajukan usulan agar Prabowo menjadi cawapresnya Jokowi. Belum lama. Dan Demiz lalu diganti dengan Sudradjat.
Kedua, kita juga belum lupa perjanjian Pasir Putih, di mana PDIP akan menjadikan Prabowo jadi capres karenanya Prabowo kudu memenangkan paslon Pilkada Jokowi-Ahok tiga tahun lalu. Dan perjanjian itu dianggap tak berlaku. Prabowo dikhianati, Jokowi malah maju jadi capres. Itu bukan absurditas Lasswell.
Ketiga, ada buku "
Paradox Indonesia" yang ditulis Prabowo 2017, seluruhnya pikiran diametral dengan Jokowi, mustahil dikawinkan. Ide dan pikiran
Paradoks Indonesia adalah membela rakyat, Jokowi membela Tycoon.
Mengikuti paradigma Karl Marx dalam Das Kapital II, mempertemukan takdir kaum borjuis dengan kaum proletar. Tak mungkin ketemu! Harus diakui pikiran dalam
Paradoks Indonesia itu dibutuhkan Indonesia keluar dari kemelut krisis kini. Sedangkan pikiran dalam Nawacita Jokowi, malah absurditas.
Jadi, sejak faktor fisik hingga pikiran, tak satupun yang dapat mempertemukan Jokowi dengan Prabowo. Mereka memang bisa berkuda bersama, tapi itu karena Jokowi sowan ke Prabowo tatkala ia kepepet.
Keempat, mungkin saya luput, bahwa dalam catatan saya Prabowo bersama Gerindranya, bukan tipe penjilat, yang bersedia melakukan apa saja yang buruk melawan moral demi kekuasaan politik: menipu, atau bertingkah aneh-aneh demi pencitraaan. Ia tak membalas ketika ditipu Suryadharma Ali, juga Jokowi belakangan.
Empat faktor tadi, menghasilkan konsep yang berlawanan dengan konsep IB: seolah Prabowo memiliki kadar absurditas yang memungkinkan ia menjilat Jokowi untuk sekadar jadi Cawapres seraya mengkhianati pikirannya dalam konsep IB. Lalu ditanyakan kepada responden. Jangan lupa, namanya responden, asal kata respon.
Faktor determinan survey IB adalah eksistensi Jokowi sebagai incumbent, dan Prabowo sebagai penantang. Kenapa sekonyong-konyong mereka kawin? Lalu dari keduanya dimunculkan derivat: konsep win-kawinan kata orang Madura. Muncullah data sejumlah cawapres aneh. Data dari kegagalan konsep.
Muncul pula Ahok jadi capres peringkat tiga setelah Jokowi dan Prabowo. Eh, Ahok masih di penjara! Seru punya Presiden Ahok dari Tionggoan, sambil tunjuk sana sini mengumpat arogan: taik, maling, di televisi. Ahok kuda hitam, maka ia mengajukan banding. Ayo Hok, jadi presiden saja.
Konsep yang salah menghasilkan desain kuesioner yang error. Selanjutnya kuis error. Hasilnya jungkir, paradoksal. Mestinya antar kuis itu memiliki kontrol kuis. Karena studi IB hanya mengukur kuantitatif, yang sepenuhnya dari data primer polling, outputnya nyaris tak bisa dibaca. Kebanyakan bolongnya Pak Bro. Baiklah saya kutipkan analisis Syahganda, sebagai berikut:
Capres 2019 dan Kuda Hitam: Catatan Atas Survey Indo Barometer (Dr. Syahganda Nainggolan, Sabang Merauke Circle)
Hari ini, 15 Februari, saya menerima postingan berisi 136 halaman
slide hasil survei Indo Barometer (IB) dan ringkasannya 5 halaman. Media mengangkat dalam berbagai sudut pandang. Ada yang memberi judul, jika Prabowo tidak mencalonkan diri, maka Anies akan menjadi kuda hitam.
Ada pula yang memberi judul lainnya yang tetap membandingkan elektabilitas Jokowi vs Prabowo yang tetap jauh jaraknya, meski mengecil dibanding survei November 2017, serta berita Ahok, penista agama yang sedang dipenjara, dan yang bulan Januari lalu terungkap gagal dalam membina rumah tangga, menempati urutan capres ketiga terpilih.
Survei ini berjudul "
Dinamika Pilpres 2019: Tiga Skenario Pilpres 2019: Siapa Kuda Hitam"
Meskipun IB gagal dalam survei-survei nya yang menjagokan Ahok di pilkada lalu di Jakarta, maupun menjagokan Rano Karno di Banten, tetap saja hasil survei-hasil surveinya perlu dicermati, karena survei-survei seperti ini menciptakan propaganda politik yang mempengaruhi opini publik.
Skenario ini, sebagaimana judul survei, mengetengahkan skenario A, di mana Jokowi dipertarungkan dengan Prabowo,
face to face, hanya ada dua capres. Basis rasional nya adalah perang wacana dan koalisi pilkada saat ini.
Lalu, skenario B, di mana Jokowi dipertarungkan dengan capres selain Prabowo. Diasumsikan Prabowo tidak nyapres. Basisnya adalah "zig zag". Lawan menjadi kawan. Jokowi akan mengambil Prabowo sebagai cawapres. Pasangan hanya ada dua pasang.
Skenario ke-3 adalah ada tiga pasang calon, dengan capres Jokowi, Prabowo dan Mr. Y. Basis rasional skenario ini adalah adanya
three king maker yang tidak puas hanya dua calon. King maker itu adalah SBY, JK dan Mega.
Beberapa temuan yang aneh dan perlu kita cermati adalah:
1. Budi Gunawan, kepala lembaga rahasia alias intelijen negara lebih dikenal/populer dari pada ketua MPR, Zulkifli Hasan, ketua PKB Muhaimin Iskandar, ketua partai Hanura dan ketua DPD Osman Sapta Odang, mantan Panglima TNI Moeldoko, Ketua DPR RI Bambang Soesatyo dan Ketua Umum Golkar/Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto. Apakah ini dapat diterima akal sehat?
2. Tingkat kesukaan terhadap Capres Gatot Nurmantyo (GN) dibanding Anies adalah 70,2 : 54,9. Namun, ketika skenario pasangan dua capres, antara Jokowi vs capres non Prabowo, elektabilitas Anies jauh di atas GN (12,1 persen vs 7,8 persen). Apakah ini
logic? Bagaimana menjelaskan arti suka pada "
voting behaviour"?
3. Nama cawapres yang lebih disukai publik antara Ridwan Kamil, eks walikota Bandung vs Anies Baswedan, berbeda jauh, yakni 73,5 persen vs 54,9 persen. Tapi ketika di survei, nama Anies paling tinggi untuk cawapres, baik pertanyaan terbuka maupun tertutup, dibanding lainnya. Istilah lebih disukai di sini tidak jelas maknanya jika dikaitkan dengan alasan memilih atau faktor memilih lainnya: kecocokan, tegas, dekat dengan rakyat, pintar, dan orangnya baik.
4. Jokowi diinginkan 57,8 persen responden untuk jadi presiden kedua kalinya. Tapi dalam elaktibikitas Jokowi vs Prabowo, angka elektabilitas Jokowi hanya 48,8 persen. Juga Jokowi vs Anies, elektabikitas Jokowi tetao tidak mencapai 50 persen. Bagaimana arti menginginakan kembali tersebut?
5. Dalam simulasi pada skenario A, dari 11 pasangan wakil yang dipasangkan dengan Jokowi, membuat tingkat total elektabikitas capres/cawapres ini lebih kecil dari elektabikitas Jokowi sendirian. Misalnya, Jokowi-Puan Maharani elektabikitas cuma 34 persen. Demikian juga ketika cawapres dipasangkan dengan Prabowo, hampir semua lebih kecil. Kenapa demikian? Apakah mungkin semua cawapres ini beban bagi capres?
6. Munculnya nama Ahok di atas Anies Baswedan sebagai capres dalam pertanyaan "
top of mind" responden sangat terasa ganjil. Padahal Ahok dikalahkan dengan beda telak oleh Anies dalam Pilkada, dan saat bersamaan Ahok terhina di penjara serta mencuat kasus skandal rumahtangga saat periode survei dilakukan.
Kegagalan KonsepBeberapa temuan aneh di atas dapat dilihat dari lemahnya konsep 3 skenario pilpres 2019 ini. Kelemahan konsep 1) pertarungan 2019 mengasumsikan adanya situasi politik yang biasa2 saja. Di mana elit elit politik bertarung hanya untuk jabatan. Asumsi ini memunculkan adanya skenario B, di mana pasangan Jokowi-Prabowo berhadapan dengan kandidat lainnya. Skenario ini telah merusak persepsi publik tentang value yang sedang ditawarkan elit, khususnya antara kelompok oposisi yang dipimpin Prabowo vs pemerintah Jokowi.
Begitu juga asal pasang cawapres pada capres Jokowi vs Prabowo pada skenario A, menihilkan adanya persepsi publik tentang pengelompkan elit berdasarkan nilai nilai yang mereka perjuangkan. Seperti penempatan Gatot Nurmantyo dan Anies, yang diasumsikan berseberangan dengan Jokowi, tentu jika dipasangkan dengan Jokowi akan merusak pola atau cara menilai responden atas apa yang ditanyakan. Mix feeling untuk menjawab pertanyaan terjadi pada responden ketika utak-atik seperti ini dilakukan seenaknya.
Adanya kemungkinan tiga pasang kandidat capres/cawapres tentu bisa terjadi. Tapi perlu penjelasan ideologis selain pragmatis saja. Pada penjelasan ideologis, jika Mengawati menarik diri dari Jokowi, misalnya, sehingga memunculkan capres ketiga, maka harus dirujuk adanya kontrak politik ideologis antara Megawati dengan Jokowi yang gagal selama ini. Merujuk pada wacana, di mana Megawati Institute merilis Desember 2017, kegagalan rezim Jokowi dalam hal kemiskinan, ketimpangan sosial, dan semakin berkuasanya oligarki, dapat dimaknai adanya pertanyaan tentang Nawacita dan Trisakti. Dalam hal realitas kontemporer, Megawati sudah berseberangan dengan Jokowi pada Pilkada Jatim dan Jabar. Jadi bukan (hanya) antara Jokowi vs Prabowo. Sebagaimana rasional skenario A.
Dalam sebuah riset, konsep adalah tulang punggung. Kegagalan konsep akan menular menjadi kegagalan menurunkan konsep menjadi variabel dan indikator penelitian yang ingin ditemukan.
Tantangan Konsultan SurveiIndonesia saat ini dihadapi dengan sutuasi genting. Politik identitas dan struktural berlangsung dengan kekerasan, yang terus berlangsung sejak Pilkada DKI, Pilkada saat ini dan kemungkinan akan pecah lebih dahsyat pada Pilpres 2019.
Pembunuhan para kyai, penyerangan tempat ibadah beberapa agama, penangkapan penangkapan kandidat kandidat cagub/cabup saat berlangsung Pilkada dan lain-lain. sedang terjadi.
Penggunaan kekuasaan untuk mempengaruhi struktur politik dan kekuasaan lokal juga masif terjadi.
Sementara semua survei menunjukkan elektabikitas presiden incumbent tidak melebihi 50 persen. Partai pendukung Jokowi 2014, PDIP belum menunjukkan akan mendukung Jokowi kembali. Partai Golkar yang saat ini mendukung Jokowi adalah partai yang bisa membatalkan dukungannya setiap saat dan bahkan belum pernah sukses menang mendukung capres dalam pilpres. Ini artinya tingkat kepastian Jokowi rentan dibanding SBY saat menjelang 2009.
Situasi ini ditandai pula dengan adanya regenerasi politik secara massif, karena faktor usia dari tokoh-tokoh elit yang ada.
Untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa ke depan, peranan lembaga survei sebagai alat propaganda pemenangan seorang kandidat, sudah saatnya diperbaiki.
Hal ini hanya bisa terjadi jika survei survei dilakukan dengan meminimalisir bias citra, melainkan lebih mengutamakan fakta. Sehingga masyarakat tidak a priori dan terus terbelah.
Kita saat ini bukan sedang menanti kuda hitam, melainkan menanti pemimpin yang benar.
[***]
Anggota Komisi III DPR, Advokat Lembaga Penyuluhan Bantuan Hukum Nahdlatul Ulama PBNU
BERITA TERKAIT: