Peristiwa yang menimpa Ustad Abdul Somad (UAS) di Bali tak mengurangi apapun di dada kita. Malah ada banyak cinta yang bertambah. Insyaallah.
Doa-doa dari delapan penjuru mata angin kini kian berhamburan ke langit. Memohon supaya Allah menyalakan girah api cinta bertubi-tubi ke palung jantung kaum muslimin yang minoritas di sana.
Hablumminallah. Hablumminannas. Semoga Allah mudahkan keduanya bagi mereka. Sakit, nanar, memar, menegakkan asma Allah di negeri orang yang beda agama, niscaya menjadi ladang amal yang besar.
Dari Bali pula, semakin nampak kecintaan umat pada ulama. Ulama makin terlihat hubb al-wathan-nya. Cinta tanah airnya. Lihat poin terakhir penjelasan kronologis UAS mengenai insiden Bali. Satu frasa pendek yang disudahi dengan lafaz takbir: NKRI harga mati.
NKRI harga mati. Sah. Clear. Kalimat hakikat dari mulut seorang ahli agama. Menara cinta tertinggi dari lisan seorang putera Melayu Nusantara. Tak ada lagi menara yang lebih tinggi dari ini.
Semakin viral fatwa "NKRI harga mati" Ustad Somad di ruang-ruang naratif publik, semakin nyata bagi kita bahwa sesungguhnya harga mati itu harga hidup. Harga hidup dengan nilai (value) yang terus-menerus bertambah.
Nilai --dengan N besar. Bukan nilai. Nilai itu, orang Melayu bilang: tiada kira punya. British cakap: your value is not based on your valuables. Masak hari gini kau nilai kebangsaanmu, keindonesiaanmu, secara eceran melalui secarik kertas ikrar?
Sangat penting meneladani sikap yang ditunjukkan UAS di Bali. Mata Ustad tak menoleh sedikit jua pada kertas ikrar kebangsaan yang disodorkan secara paksa oleh sekelompok massa.
Padahal, andai pun UAS sudi membacanya, saya yakin kita akan segera memaklumi hal itu sebagai semacam ijtihad ulama di tengah situasi mencekam. Tiada pula kan surut kasih sayang kita terhadap beliau.
Tapi mata UAS adalah mata NKRI. Di depan umat, ia mata rindu yang gampang tunai. Di hadapan sekelompok kepentingan, dia mata hati yang tak mudah takluk. Lebih baik berputih tulang daripada berputih mata. Itulah harga mati.
Orang Melayu marah UAS disakiti. Ulamanya dilukai. Lantaklah nak didefenisikan dengan apa Melayu itu. Sepanjang nalar main, tak masuk angin, pancang dalam-dalam sekat perspektifmu soal Melayu; etnik, politik, linguistik, geografi, bangsa-nation, negara-state, apa saja. Suka-suka. Tapi jangan pernah agama.
Melayu adalah Islam. Islam adalah Melayu. Dwitunggal. Haram Melayu mengemis supaya nilai-nilai keindonesiaannya dihargai lewat sesuatu yang berharga yang kami miliki: hasil alam minyak gas bumi hutan laut ikan-ikan. Sebab apa yang kami sebut dengan Nilai selalu tentang di luar itu. Kesetiaan. Iman.
Bagi Melayu, ulama adalah al-mahdi, pemandu, sebelum Allah menurunkan Imam Mahdi-Nya yang sejati di penghujung zaman nanti. UAS adalah Imam Mahdi Melayu hari ini.
Tak peduli Melayu sekarang seakan sirna tanpa jejak, tersingkir dari riuh-rendah semesta. Melayu takkan pernah mau kompas lain untuk kembali. Cukup berada di shaf belakang Ustad Abdul Somad, dipandu para ulama, Melayu beriman kepada Allah, setia kepada NKRI, hingga titik darah penghabisan.
Sungguh Bali telah mengingatkan kami lagi soal ini. Terimakasih.
[***]