Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

KPK, Golkar, Dan Novanto (3)

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/zainal-bintang-5'>ZAINAL BINTANG</a>
OLEH: ZAINAL BINTANG
  • Senin, 11 September 2017, 22:32 WIB
<i>KPK, Golkar, Dan Novanto (3)</i>
Setya Novanto/Net
TERNYATA hari ini Senin, 11 September 2017, Setya Novganto (SN) tidak datang memenuhi panggilan pemeriksaan perdana KPK atas dirinya selaku tersangka. Sebenarnya, hal ini sudah diduga sebelumnya.

Serentak kejadian itu memantik reaksi sejumlah nitizen di medsos. Mempertanyakan masalah ketidakhadiran SN. Karena selama setahun terakhir ini dia menjadi aktor besar dalam lakon pemberantasan korupsi skandal megakorupsi e-KTP.

Nyaris tidak ada hari tanpa nama SN dalam pemberitaan di media. Baik  siang maupun  malam. Baik media mainstream, cetak, online. Terutama jaringan medsos yang sangat agresif nyelonong di layar gadget. Bebas memasuki kamar tidur pengguna tanpa izin, di subuh dinihari sekalipun.

SN diberitakan, kemarin setelah berolahraga, gula darahnya naik. Setelah diperiksa, ternyata implikasi fungsi ginjal juga ada pengaruh dengan jantung, kata Sekjen Golkar yang datang ke gedung KPK mengantar surat keterangan sakit dari dokter, Senin (11/9).

Publik mempertanyakan, mengapa Sekjen Golkar yang pro aktif mendatangi KPK untuk menjelaskan. Bukankah yang menjadi objek hukum adalah SN pribadi, tidak ada kaitan dengan Golkar sebagai institusi.

Sungguh sangat berbahaya, apabila ternyata yang terbukti terlibat dalam persidangan kasus skandal megakorupsi e-KTP adalah partai Golkar. Golkar bisa diskualifikasi.

Semua parpol itu terancam  tindak pidana korupsi dan pencucian uang sebagaimana  diatur di UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi dan UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).

Jika Golkar yang dinyatakan yang terlibat, itu artinya semua hasil Pemilu 2014 yang telah melahirkan presiden Jokowi dan wakil presiden Jusuf Kalla  menjadi batal demi hokum alias tidak sah.  Termasuk sejumlah lembaga negara lainnya.

Menyoal masalah sakitnya SN, nampaknya beberapa oknum pejabat negara di era reformasi, - terutama tokoh teras parpol besar, -  sangat liat jika berurusan dengan hukum.  Mungkin mereka sadar, posisi mereka sangat rentan terjerat ke dalam lumpur korupsi.

Itu sebabnya, mengapa frasa “sakit” itu laris digunakan. Karena dia bermata dua.  Pertama menghindari pendadakan dipaksa pakai rompi oranye. Yang kedua membuka ruang lobi penyelesaian secara “adat” alias barter politik.

Kembali kepada kasus SN, diketahui telah mengajukan gugatan praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Senin (4/9), dan dijadwalkan persidangan pertama Selasa, (12/9) dengan hakim tunggal Cepy Iskandar .

Menanggapi langkah perlawanan hukum SN itu, juru bicara KPK Febri Diansyah mengatakan KPK siap menghadapi gugatan pra peradilan SN. KPK cukup yakin dengan dua bukti permulaan yang mereka miliki dapat menjerat SN.

Penyidik KPK mengakui telah memeriksa lebih dari 108 saksi. Saksinya berasal dari kalangan anggota DPR aktif maupun yang mantan. Juga ada  pejabat Kementerian Dalam Negeri, Pengacara, Notaris, BUMN, juga pihak swasta.

Sidang Praperadilan SN menjadi pusat perhatian khalayak. Namun, sayang, lagi �" lagi Sekjen partai Golkar sudah memprediksi SN tidak hadir dalam sidang pra peradilan. Hal itu, katanya karena faktor kesehatan, sejak Minggu dirawat di Rumah Sakit.

Mengapa sidang gugatan pra peradilan menarik perhatian? Mayoritas publik menengarai forum itu akan dijadikan oleh SN sebagai pintu darurat keluar dari belitan kasusnya.

Kesuksesan Budi Gunawan (BG) dan Hadi Purnomo(HP)  lolos dari jerat hukum KPK lewat pintu pra peradilan, rupanya menjadi sumber semangat dan perlawanan SN.  Memanfaatkan forum  pra peradilan adalah cara tersendiri SN meloloskan diri.

Hal itulah yang  membuat publik mau tidak mau menengok kepada majelis hakim, sebagai lembaga penentu akhir  hitam atau putihnya suatu perkara.

Mengingat perilaku seorang anggota majelis hakim menjadi wilayah kontrol Mahkamah Agung (MA), maka inilah yang mendorong beberapa waktu yang lalu, kelompok generasi muda Golkar mencurigai pertemuan  Ketua MA, Hatta Ali dengan SN mengandung aroma tidak sedap.

Tentu saja, SN sah�"sah berjuang memperoleh mukjizat dari sidang pra peradilan, sebagaimana yang didapatkan BG dan HP. Namun, SN juga harus mewaspadai “musibah” yang menimpa konglomerat pemilik MNC Group  Hary Tanoe.

Hary Tanoe tersandung. Gugatan pra peradilannya terhadap Bareskrim ditolak oleh majelis hakim tunggal Cepy Iskandar. Ketua Umum Perindo itu terpaksa harus ikut mengalir di dalam aliran perkaranya.  

Dalam pertimbangan hakim, pihak kepolisian telah memiliki dua alat bukti yang sah untuk menetapkan Hary Tanoe sebagai tersangka.

Lantas, apa bedanya, dengan penjelasan KPK tentang kuatnya alat bukti yang mereka miliki terkait keterlibatan SN?

Membayangkan, kegagalan Hary Tanoe;  membayangkan Hakim Tunggal Cepy Iskandar juga orangnya; membayangkan kokohnya sikap KPK terhadap dirinya, plus tekanan diinternal Golkar yang tiada henti-hentinya;  dapat dimaklumi jika gula darah SN menjadi tidak stabil; bahkan jantung dan ginjal ikut terganggu.

Mungkin ini yang menjelaskan, mengapa SN belakangan ini gampang sakit. Terlihat loyo dan pucat. Pada acara sidang umum MPR RI 16 Agustus 2017, SN pun jatuh sakit, akhirnya dia  meninggalkan kompleks parlemen. Dia tidak menghadiri sidang tahunan DPR pukul 14.00 WIB, di mana seharusnya dia memimpin sidang dan membacakan pidato.

Seakan telah menjadi tradisi budaya pejabat di negeri ini yang ketahuan korupsi : menggunakan permainan kosakata “sakit” sebagai senjata “sakti” menunda palu godam hukum.

Khusus kaitannya dengan kasus SN, sejak awal publik dihadapkan dengan teki teki yang aneh. Misalnya, bagaimana mungkin seorang tersangka yang namanya berulang kali disebut dalam belasan sidang formal pengadilan resmi, masih bisa berkelit dan membantah terus lewat media. Mencoba merengkuh opini publik.

Bagaimana mungkin seseorang yang sudah ditetapkan sebagai tersangka dan dicekal ke luar negeri, masih berusaha keras  mementahkan penetapan itu, dan leluasa bermanuver menyudutkan lembaga hukum formal yang menetapkannya.
Seakan menjadi kebutuhan  khusus , petinggi parpol berusaha membangun benteng publik opini. Terutama lewat jaringan lintas media yang informal.

Mereka berupaya sekuat mungkin mendegradasi produk lembaga hukum formal. Opini publik dipermainkan. Fakta dijungkirbalikkan.

Untunglah, pejabat KPK cukup sigap untuk melakukan second opinion, mencari kebenaran hakiki mengenai peristiwa jatuh sakitnya SN. Pejabat lembaga antirsuah itu tidak begitu saja menelan mentah-mentah keterangan awal  yang terkesan terproses sangat subjektif dan amatiran;  kalau tidak mau dikatakan sebagai tindak laku akal-akalan.

Untungnya pula  di era masyarakat modern dengan budaya baru yang bernama digitalisasi ini, ternyata masih sangat banyak yang mempercayai hukum alam yang berbunyi :  “Sepandai-pandai tupai melompat, akhirnya jatuh ke tanah jua”.

Lantas meluncur pertanyaan lain dari sudut lain, bagaimana jika seandainya “tupai” nya jenis itu terbilang yang sakti dan kebal hukum?

Wallahu a’lam bisshawab. [***]

Penulis adalah wartawan senior dan anggota Dewan Pakar Partai Golkar

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA