Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Memahami Perang Generasi Keempat

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/yan-daryono-5'>YAN DARYONO</a>
OLEH: YAN DARYONO
  • Kamis, 25 Mei 2017, 10:02 WIB
Memahami Perang Generasi Keempat
Ilustrasi
MENURUT Menteri Pertahanan RI Ryamizard Ryacudu, perang generasi ke empat  atau fourth generation warfare disebut juga ebagai perang asimetris, yaitu  suatu  perang  modern  tanpa  keterlibatan militer secara formal atau bisa juga disebut perang sipil (civil war).

Dalam bahasa populernya dikenal dengan sebutan smart power atau perang non militer. Perang sipil yang murah meriah tetapi memiliki daya hancur yang sangat dahsyat.

“Jika  Jakarta dibom atom,  daerah-daerah  lain tidak terkena dampaknya. Tetapi bila dihancurkan dengan menggunakan asymmetric warfare sama artinya dengan penghancuran sistem di negara ini, hancur berpuluh-puluh tahun dengan akibat menyeluruh,” ujar Menhan Ryamizard dalam forum diskusi terbatas yang diselenggarakan oleh Global Future Institute di Jakarta pada tanggal 29 Januari 2015.

Dewan Riset Nasional (DRN) pada  tahun  2008  telah  merumuskan definisi tentang perang  generasi  ke empat sebagai berikut, “Perang asimetris (asymmetric warfare) adalah suatu model peperangan yang dikembangkan dari cara berpikir yang tidak lazim dan di luar aturan peperangan yang berlaku dengan spektrum perang yang sangat luas, mencakup aspek-aspek astagatra sebagai perpaduan antara rigatra (geografi, demografi  dan sumber daya alam/SDA) dengan pancagatra (ideologi, politik, ekonomi, sosial dan budaya). Selain itu perang asimetris selalu melibatkan antara dua aktor atau lebih dengan ciri menonjol dari kekuatan  yang  tidak  seimbang  yaitu pihak yang lemah melawan pihak yang kuat atau  disebut  juga  antara non state actor dan state actor.”

Hal  yang  sama  juga  disampaikan oleh  K. Mustarom dalam Jurnal Syamina yang  menyebutkan bahwa perang generasi ke empat itu bersifat transnasional, tidak mengenal  medan  perang  yang pasti, tidak membedakan sipil dan militer, serta tidak mengenal garis depan.

Aktor dalam perang generasi ke empat pada umumnya memiliki tujuan regional yang jauh lebih luas dan bahkan memiliki  visi  global. Mereka berusaha menerapkan  sistem  sosial  yang sama sekali  baru  berdasarkan ideologi atau agama mereka.

Singkatnya dapat dirumuskan  bahwa perang generasi ke empat itu bersifat  politis,  jaringannya terbentuk  secara  sosial dan membutuhkan jangka waktu  yang  lama  serta berlarut-larut.

Bahkan bisa juga dikatakan sebagai antithesis dari konsep dan strategi perang versi Pentagon yang mengandalkan teknologi  persenjataan mutakhir. Sehingga dalam implementasinya, perang generasi  ke  empat akan memaksimalkan  seluruh  jaringan  yang  dimiliki  musuhnya  seperti kondisi dinamika  politik, sosial, ekonomi  dan  militer, agar pihak musuh tidak mampu melakukan keputusan pasti atau melaksanakan tindakan tegas terhadap tujuan  strategisnya. Bisa dilakukan dalam bentuk aksi teror, penyebaran isu hoax atau pun sabotase.

Jika dianalogikan, mungkin seperti filosofi Silat Minangkabau. Yaitu gunakan kekuatan “lawan” untuk memukul “lawan” tersebut.

Maka untuk itu instrumen yang paling utama digunakan dalam melancarkan  perang  generasi  ke empat  ini adalah informasi, maka peran informasi menjadi elemen kunci dalam setiap pengejawantahan strategi perang generasi ke empat.

Menurut US Army War College, dalam makalah M. Arief Pranoto, perang  asimetris dapat didiskripsikan sebagai suatu konflik dari dua pihak yang berseteru dengan  sumber daya inti serta tujuan perjuangan yang berbeda, melakukan tindakan interaksi  dan  upaya  untuk saling mengeksploitasi karakteristik kelemahan-kelemahan  musuhnya.

Perjuangan tersebut sering berhubungan dengan strategi dan taktik unconventional war. Pihak yang lebih lemah akan berusaha menggunakan strategi untuk mengimbangi kekurangan yang dimiliki. Misalnya dalam hal kuantitas dan kualitas.


Alhasil dapat ditafsirkan bahwa perang asimetris merupakan metode peperangan gaya baru secara non militer, namun daya hancurnya tidak kalah bahkan dampaknya bisa lebih dahsyat daripada perang militer atau perang konvensional.

Perang  ini  memiliki medan tempur yang  luas  meliputi segala  aspek  kehidupan (astagatra). Sasarannya  tidak hanya tertuju kepada satu aspek tetapi justru beragam aspek yang dapat dilakukan bersamaan atau secara  simultan  dengan  intensitas  berbeda.

Sasaran  perang asimetris ada 3 (tiga) yaitu: 1) membelokkan sistem suatu negara sesuai arah atau tujuan kepentingan  pihak  kolonialisme,  2) melemahkan ideologi serta mengubah pola pikir  rakyat  dan  3)  menghancurkan ketahanan pangan serta ketahanan energi suatu negara. Sehingga dengan  demikian  pihak  pelaku yang memenangkan perang asimetris tersebut akan  dengan  mudah  mengontrol  kondisi ekonomi dan pengelolaan  sumber  daya alam dari negara yang telah dikalahkannya dalam perang  asimetris tersebut.

Hal itu selaras dengan pendapat Henry Kissinger, mantan Menlu AS, yang mengatakan bahwa dengan mengontrol sumber daya  alam, pangan dan energi, sudah dapat mengendalikan mekanisme sistem suatu negara  yang  menjadi  korban  perang  asimetris atau perang generasi ke empat itu.

Sementara apa bila mencermati sifat dan bentuk perang asimetris, ada 2 (dua) model yaitu, pertama, melalui aksi massa di jalanan dengan target untuk menekan  sasaran. Kemudian  yang  kedua, melalui keputusan politik yang tentunya  menguntungkan  bagi  pihak  tertentu, khususnya pemenang dalam perang asimetris tersebut.  [Bersambung/***]

Penulis adalah pemerhati isu-isu keamanan dan pertahanan. Tinggal di Bandung. Tulisan ini adalah bagian pertama dari empat bagian tulisan.

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA