"Pengakuan ini penting khususnya pasca-reformasi, Indonesia terus menjadi negara terdepan dalam kebebasan pers di kawasan Asia Tenggara," ungkapnya pada saat pembukaan World Press Freedom Days 2017 di Jakarta Convention Center (Rabu, 3/5).
Dia mengingatkan, kebebasan pers di Indonesia harus terus dijamin oleh pemerintah. Karena pers merupakan pilar kelima demokrasi. Tanpa ada pers tidak ada pemerintah yang demokratis.
"Namun demikian kebebasan pers haruslah bertanggungjawab, kebebasan pers yang bertanggungjawab akan memunculkan masyarakat yang terdidik dan bertanggungjawab."
Meski begitu diakuinya, Indonesia saat ini tengah menghadapi berbagai tantangan dalam kebebasan pers, mulai dari kurang sadarnya berbagai pihak akan tugas jurnalis serta limitasi dalam menulis.
Selain itu juga limitasi kebebasan menulis, merupakan dampak tidak langsung dari peningkatan teknologi dan dampak dari semakin mudahnya masyarakat mengakses internet.
"Namun sayangnya peningkatan teknologi memunculkan berbagai permasalahan, salah satunya peningkatan laporan masyarakat akan tulisan seseorang di media sosial," jelas mantan wartawan ini.
Menurut data Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, sekitar 85 orang terkena kasus Undang-Undang ITE karena dianggap telah mencemarkan nama baik dan melakukan penghinaan. Bahkan sebanyak 5 orang dipenjara akibat permasalahan tersebut.
Karena itu, Komisi 1 DPR RI, sebagai lembaga yang mengawasi pemerintah dalam penegakan kebebasan pers di Indonesia, telah melakukan revisi terhadap Undang-Undang ITE, khususnya Pasal 27 ayat (3), yang mengubah hukuman dari sebelumnya 6 tahun menjadi 4 tahun.
"Sehingga masyarakat yang dianggap melakukan pelanggaran pasal tersebut tidak langsung dipenjara. Kami pun meminta masyarakat agar lebih berhati-hati dalam membuat berbagai tulisan di media sosial," kata Meutya.
[zul]
BERITA TERKAIT: