Selesaikan Pelanggaran HAM Berat, Jokowi Tersandera Kepentingan Tertentu

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/'></a>
LAPORAN:
  • Sabtu, 18 Februari 2017, 23:51 WIB
Selesaikan Pelanggaran HAM Berat, Jokowi Tersandera Kepentingan Tertentu
Presiden Jokowi/Net
rmol news logo Upaya menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang mayoritas diwarisi Orde Baru sepertinya sangat sulit dilakukan Presiden Joko Widodo (Jokowi), karena tersandera kepentingan kelompok tertentu yang diduga turut terlibat dalam pelanggaran HAM.

Analis Politik dan HAM Labor Institute Indonesia Andy William Sinaga mengatakan, para aktor baik intelektual maupun eksekutor pelanggaran HAM berat seperti kasus Trisakti, Semanggi, Mei 1998 dan penghilangan aktivis masih bebas berkeliaran.

"Bukan merupakan rahasia umum mereka adalah oknum pensiunan institusi negara dalam hal ini TNI. Apalagi saat ini salah satu pejabat yang diduga paling bertanggung jawab dalam peristiwa pelanggaran HAM berat tersebut duduk di jajaran kabinet Presiden Jokowi," ujarnya kepada redaksi, Sabtu (18/2).

Menurut Andy, sebagai kepala pemerintahan, tidak sulit bagi Presiden Jokowi dalam menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat dikarenakan wewenang yang dimiliki cukup besar. Apalagi komitmen Jokowi dalam penegakkan dan perlindungan HAM termaktub dalam sembilan langkah prioritas Nawa Cita.

Jokowi punya tanggung jawab moral dalam penyelesaian pelanggaran HAM berat. Karena itu, harus berani menyatakan bahwa pelanggaran HAM berat diselesaikan secara yudisial dan non yudisial. Pelanggaran HAM berat yang dapat dikategorikan masuk dalam penyelesaian yudisial adalah kasus Trisakti, Tragedi Mei 1998, Semanggi I dan II, penghilangan aktivis 1998-1999.Sedangkan kasus non yudisial adalah kasus 1965-1966, penembakan misterius 1982-1985.

"Pengungkapan kasus secara yudisial dilakukan karena diduga pelaku baik aktor intelektual dan eksekutor masih hidup. Saksi, korban dan bukti lainnya juga masih ada. Tidak sulit bagi Jokowi untuk melakukan penyelesaian kasus secara yudisial, tergantung apakah berani atau tidak. Sedangkan kasus penembakan misterius dan kasus 1965 disarankan secara non yudisial dikarenakan aktor dan eksekutor sudah meninggal serta alat bukti lainnya diduga sudah hilang," jelas Andy.

Dia menambahkan bahwa penyelesaian pelanggaran HAM berat secara yudisial dapat dengan mengaktifkan kembali Pengadilan HAM sesuai dengan UU 26/2000. Pengadilan HAM ad hoc atas peristiwa Timor Timur pada 202 dan tragedi Tanjung Priok pada 2003-2004 dapat diterapkan pada kasus-kasus yudisial dengan membuka kembali penyelidikan Komnas HAM terdahulu, dan memerintahkan Kejaksaan Agung melakukan penyidikan dan penuntutan sebagaimana tertuang dalam UU 38/1999 tentang HAM, serta UU 26/2000 Tentang Pengadilan HAM.

"Sekarang kita menunggu good will dari Presiden Jokowi untuk memberikan rasa adil dan keadilan bagi para korban dari pelanggaran HAM yang telah terjadi. Kalau akhirnya terbukti secara proses yudisial bahwa institusi negara terlibat, Presiden Jokowi harus berani untuk meminta maaf," tegas Andy. [wah]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA