Dampak ini diakibatkan karena pembangkit IPP China Sumsel 5 mulai beroperasi pada tanggal 29 November 2016 yang lalu. Karena daya pembangkit yang berlebih pada sistem Sumsel, maka PLTU Bukit Asam harus distop atau di-shutdown.
Dijelaskan Ketua Umum Serikat Pekerja PLN Jumadis Abda bahwa berhentinya PLTU Bukit Asam itu karena harus menerima beroperasinya pembangkit IPP Sumsel 5 .
"Dengan klausul take or pay tersebut maka ambil atau tidak diambil kWh-nya PLN harus bayar dengan CF/AF sama dengan 85 persen. Apabila hal ini terus berlanjut maka akan mendatangkan kerugian bagi PLN sekitar Rp 500 miliar per tahun," bebernya.
Jumadis menerangkan, kerugian didapat dari selisih kWh beli pembangkit IPP dibanding harga pokok produksi PLTU Bukit Asam sendiri. Harga kWh IPP Sumsel 5, sebesar 5,8 sen dolar AS/kWh (Rp 780/kWh) lebih mahal dibandingkan yang dibangkitkan sendiri PLTU Bukit Asam yang hanya sekitar Rp 300/ kWh.
SP PLN menolak klausul take or pay pembangkit listrik swasta tersebut karena sangat merugikan PLN dan pada akhirnya harga listrik akan menjadi semakin mahal diterima oleh masyarakat. Karena setiap komponen biaya listrik pada akhirnya akan dibebankan kepada harga jual listrik ke masyarakat.
Oleh sebab itu, SP PLN meminta kepada Dirut PLN untuk menghilangkan atau membatalkan klausul take or pay dalam setiap perjanjian jual beli listrik dengan pihak swasta.
Dirut PLN juga harus mengendalikan masuknya pembangkit swasta dan Pemerintah harus mengevaluasi RUPTL yang memberi kesempatan lebih besar kepada swasta untuk membangun pembangkit.
"Kami juga meminta Mahkamah Konstitusi untuk membatalkan UU 30/2009 terutama pada pasal keterlibatan atau partisipasi swasta dalam membangun serta memiliki sektor ketenagalistrikan ini," tegas Jumadis.
[ian]
BERITA TERKAIT: