Kontrak Politik PPP Dan Ahok Sangat Penting Bagi Umat Islam

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/humphrey-djemat-5'>HUMPHREY DJEMAT</a>
OLEH: HUMPHREY DJEMAT
  • Jumat, 28 Oktober 2016, 11:23 WIB
Kontrak Politik PPP Dan Ahok Sangat Penting Bagi Umat Islam
Humphrey Djemat/net
BANYAK pihak yang meragukan kontrak politik antara Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Calon Gubernur Ahok-Djarot. Tak sedikit yang menuding kontrak itu tak bermakna apapun. Padahal, banyak peradaban bermula dari adanya sebuah kontrak politik. Karena kontrak politik inilah sumber ikatan antara satu pihak dengan lainnya.

Tahun 1215, sebuah kontrak politik pertanda dimulainya monarkhi konstitustional di Kerajaan Inggris Raya. Tanggal 15 Juni 1215, sebuah kesepakatan ditandatangani pertanda berakhirnya kekuasaan monarkhi absolut di Inggris. Antara Paus, Raja John, dan 25 baron di Inggris menandatangani kontrak bersama. Kontrak itu berupa Piagam Besar. Dalam bahasa latin itulah yang disebut Magna Charta. Kontrak itu tak dituangkan di depan peradilan Inggris. Tak dihadiri oleh hakim-hakim Inggris kala itu. Tapi kesepakatan yang mengikat para pihak yang membuatnya, yakni para baron, Paus dan King John.

Berabad-abad kontrak politik itu menjadi pegangan. Kontrak politik itu menjadi kontrak hukum. Karena saling mengikat di antara pembuatnya. Itulah kekuatan hukumnya. Magna Charta itu pulalah yang menimbulkan ide constitutio di abad pertengahan. Dimana sebuah negara disusun berlandaskan basis konstitusi, yang merupakan kesepakatan bersama. Magna Charta itu pula yang mengilhami Jean Jacques Rosseaou menuliskan bukunya Le Contrac Social”.

Inilah yang menjadi basis pemikiran negara konstitusi. Negara yang berdasarkan kesepakatan bersama sebagai peraturan perundangan. Yang jelas, Magna Charta ini pertanda titik awal dimulainya peradaban demokrasi dan konstitusi. Dari magna charta inilah kemudian konsep negara konstitusional tercipta hingga sekarang.

Piagam Madinah

Dalam Islam, kontrak politik juga sangat dikenal. Yang paling mutakhir adalah Piagam Madinah (Shafihatul Madinah). Ini adalah kontrak politik antara Rasulullah Shalllahuallaihi Wassalam sebagai pemimpin kaum muslimin dengan semua suku-suku dan kaum-kaum penting di Madinah, tahun 622 Masehi lalu itu. Piagam Madinah ini berupa kontrak politik yang berlaku mengikat bagi para pembuatnya.

Dalam Piagam Madinah inilah posisi politik umat Islam makin menguat di Madinah, awal kehadiran Islam. Selain itu, hal ini menunjukkan betapa Islam membolehkan dilakukannya sebuah kontrak politik dengan kalangan non Islam, demi tujuan untuk memperkukuh kekuatan Islam. Hal inilah yang dicontohkan oleh Rasulullah Shallahuallaihi Wassalam dalam Piagam Madinah itu.

Dalam sejarah perkembangan Islam, Piagam Madinah ini memiliki peranan penting. Dari kontrak politik di Madinah inilah kekuatan Islam makin menambah terkhusus untuk kemudian melakukan futtuh Makkah (penaklukkan Makkah). Hampir seluruh pihak-pihak yang termaktub dalam Piagam Madinah itu ikut serta dalam penaklukkan Makkah. Tentu ini berkat Piagam Madinah yang berupa kontrak politik tersebut.

Nah, dalam konteks PPP sekarang, ihlwal Piagam Madinah inilah yang mendasari diperlukannya sebuah kontrak politik dalam menghadapi pemilihan Gubernur DKI Jakarta. Pasangan calon Ahok dan Djarot sampai kini masih yang terkuat. Tapi di permukaan seolah pasangan ini mendapat kecaman dari kaum muslimin yang sangat dahsyat. Seolah "musuh Islam" hari ini disematkan pada diri Ahok. Terlepas dari bagaimana tingkah polah pribadi Ahok, tapi menitikberatkan "musuh Islam" pada diri satu orang, tentu sangat tidak strategis sekali.

Suka tidak suka, Indonesia ini dihuni oleh kaum muslimin yang besar. DKI Jakarta juga dihuni oleh 80 persen muslimin. Peranan umat Islam sangat signifikan di wilayah DKI Jakarta ini. Jika di pasangan calon lain, umat Islam seolah telah terwakili oleh partai-partai yang bernafaskan Islam. Tapi seandainya pasangan Ahok-Djarot ini yang menang, jika dianggap sebagai "musuh Islam", tentu sangat tak strategis bagi umat. Karena seolah-olah nanti pandangan khalayak bahwa umat Islam kalah. Karena hal itulah diperlukan segmen Islam juga hadir di pasangan ini. Dari titik inilah PPP hadir untuk mendukung pasangan Ahok-Djarot. Hingga siapapun pasangan calon yang memenangkan pilkada DKI ini, tetap ada unsur Islam di dalamnya.

Selain itu, pilkada ini juga bukan pertarungan antar umat beragama. Ahok-Djarot juga bukan mewakili umat Nasrani, Budha atau Hindu. Tapi mereka hanya representasi dari partai politik yang mendukungnya. Ini hanya bagian dari sistem demokrasi. Di mana calon gubernur, presiden atau bupati sekalipun, dicalonkan oleh partai politik. Mekanisme ini diatur sepenuhnya oleh undang-undang sebagai bentuk konstitusionalitas. Calon yang dimunculkan, tentu tak merepresentasikan dia berasal dari agama mana. Melainkan berasal dari partai mana.

Jadi antara partai dan agama itu jauh berbeda. Nah, akan menjadi masalah besar jika pencalonan pemimpin dalam demokrasi ini dianggap sebagai perwakilan dari keagamaan. Karena sejatinya urusan keagamaan ini memiliki mekanisme sendiri. Kepemimpinan dalam Islam tak dituangkan dalam Bupati, Gubernur atau Presiden. Begitu juga dalam Nasrani, Budha atau Hindu. Masing-masing agama memiliki "sistem ketatanegaraan" tersendiri. Sementara demokrasi ini memiliki mekanisme tersendiri. Jadi pasangan Ahok-Djarot jelaslah tak mewakili kalangan umat Nasrani atau umat lainnya. Ini hanya pasangan yang lahir dari sebuah kesepakatan politik. Yang tentu diwakili oleh Partai politik.

Namun untuk menjaga keseimbangan dan kepentingan umat Islam, di situlah PPP muncul. Dari sanalah konsep diperlukannya kontrak politik bermula. Kontrak politik yang dibuat tersebut tentu bukan sekedar lips service dalam dunia politik. Melainkan bentuk perjanjian yang mengikat bagi para pembuatnya.

Kontrak politik itu juga memenuhi syarat sah sebuah perjanjian seperti yang diatur oleh Pasal 1320 KUH Perdata. Karena kontrak politik itu juga bentuk perjanjian yang dibuat oleh para pihak. Merujuk pada Pasal 1320 KUH Perdata, ada empat syarat sah suatu perjanjian: sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, kecakapan yang membuat perikatan, suatu hal tertentu, dan suatu sebab yang diperkenankan. Nah, kontrak politik itu memenuhi seluruh unsur-unsur tersebut. Jadi kontrak politik antara PPP dan pasangan Ahok-Djarot bukanlah tak berarti apapun. Melainkan telah memenuhi unsur-unsur perbuatan hukum.

Sebuah perbuatan hukum, tentu memiliki implikasi hukum. Perbuatan hukum menuntut adanya tanggung jawab atasnya. Di situlah kontrak politik juga memiliki impact secara hukum. Jika salah satu pihak melakukan pelanggaran, tentu sudah masuk kategori perbuatan melawan hukum (onrechmatigdaad). Jadi sangat berarti sekali kontrak politik antara PPP dan Ahok tersebut.

Jadi, jika dibaca secara utuh kontrak politik itu sangat mewakili sekali kepentingan umat Islam di DKI Jakarta. Seandainya pasangan Ahok-Djarot ini yang menjadi Gubernur, umat Islam tak perlu risau. Karena PPP telah mewakili kalangan umat Islam untuk melakukan pemenuhan dasar bagi kaum muslimin. Di sinilah peranan PPP sebagai partai yang berbasis Islam. ***

Penulis adalah Wakil Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) hasil Muktamar Jakarta


Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA