Bukan bermaksud mengecilkan upaya Sandiaga Uno ataupun calon-calon lain, tapi Rizal Ramli memiliki "keberuntungan sejarah†sehingga dipandang publik lebih layak dipilih menggantikan petahana Gubernur DKI Jakarta Ahok. Karena terdapat kisah yang dipercayai mereka: Rizal Ramli dicopot dari jabatan Menteri Koordinator Maritim dan Sumber Daya oleh Presiden Joko Widodo karena berseteru dengan Gubernur Ahok tentang persoalan Reklamasi Pulau G di Teluk Jakarta. Nilai yang terkandung di dalam kisah ini adalah Rizal Ramli memiliki keberpihakan yang tinggi terhadap rakyat dan kelestarian lingkungan hidup, sedangkan Ahok berpihak pada pengembang.
"Keberuntungan sejarah†karena ditakdirkan untuk vis a vis secara politik dengan inkumben ini tidak dimiliki oleh Sandiaga Uno dan para calon lainnya. Termasuk itu Mardani Ali Sera yang dicalonkan oleh PKS. Selain itu pula, baik Sandiaga Uno maupun Mardani Ali Sera jelas tidak dapat dibandingkan dengan Rizal Ramli yang kredibilitasnya telah teruji di kancah politik nasional dan internasional. Secara rekam jejak integritas, kapasitas, dan keberpihakan kepada rakyat dari sosok Rizal Ramli jelas sulit dicari perbandingannya saat ini.
Hal tersebut disadari oleh politisi PAN Eko Patrio, yang memandang bahwa Rizal Ramli memiliki keberpihakan yang tinggi kepada rakyat dan juga keberanian di atas rata-rata sehingga pasti bisa mengepret "ayam sayur†(Gubernur Ahok?). Eko yang merupakan ketua PAN DKI Jakarta mengaku akan berjuang agar Koalisi Kekeluargaan (yang terdiri dari 7 partai politik) mau menerima Rizal Ramli sebagai bacagub koalisi mereka. Benar kata Eko, bahwa dunia perpolitikan menjelang Pilkada DKI Jakarta masih akan sangat likuid†atau cair hingga tanggal 21-23 September 2017, batas akhir pencalonan.
Asal jangan saking cairnya sampai calon-calon kacangan†yang akhirnya dimajukan oleh partai-partai politik di Koalisi Kekeluargaan. Calon-calon yang tak sanggup saingi popularitas dan elektabilitas petahana Gubernur Ahok mendadak dimunculkan. Pilihan calon-calon kacangan†semacam ini jelas menimbulkan keresahan besar, karena seolah mempermainkan suara publik yang menginginkan perubahan. Seolah terjadi permainan buang kartu kosong†di balik pilihan calon-calon kacangan ini oleh parpol-parpol di Koalisi Kekeluargaan.
Bila benar permainan tersebut telah terjadi, jangan-jangan partai-partai ini telah menerima "uang kalah� Mahar politik yang cair dari para pengembang apabila partai-partai di Koalisi Kekeluargaan memilih calon yang pasti akan kalah oleh Ahok? Tidak salah bila akhirnya publik menjadi curiga seperti demikian. Karena, kenapa tidak PKS mencalonkan saja kader-kadernya yang lebih baik (seperti contohnya Aher dari Jawa Barat atau Irwan Prayitno dari Sumatera Barat) tapi malah mencalonkan Mardani Ali Sera?! Juga, Prabowo seharusnya dapat lebih bijak dalam menentukan strategi (katanya ahli strategi!), apakah Sandi tetap sebagai bacagub Gerindra atau dapat saja digeser sedikit menjadi bacawagub?
Sebaik-baiknya kita semua jangan mempermainkan suara publik yang menginginkan perubahan. Publik tidak ingin para politisi yang telah mereka pilih menggadaikan suara untuk memenangkan gubernur yang didukung pengembang karena rajin menggusur. Tingkat politik kita harus dipertinggi, politik harus diupgrade, jangan hanya menjadi politik elit yang terus dibajak oleh oligarki modal. Namun dapat menjadi politik gerakan rakyat (people movement) yang mencerdaskan publik. [***]
Penulis adalah analis Lingkar Studi Perjuangan (LSP)
BERITA TERKAIT: