Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Keputusan Luhut Lanjutkan Proyek Reklamasi Lemah Secara Logika Dan Etika

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/zulhidayat-siregar-1'>ZULHIDAYAT SIREGAR</a>
LAPORAN: ZULHIDAYAT SIREGAR
  • Senin, 12 September 2016, 02:12 WIB
Keputusan Luhut Lanjutkan Proyek Reklamasi Lemah Secara Logika Dan Etika
Rizal-Luhut/Net
rmol news logo Kebijakan Menko Maritim Luhut Binsar Pandjaitan yang menganulir keputusan pendahulunya, Rizal Ramli, terkait reklamasi di teluk Jakarta perlu dicermati.

Sebab pencabutan kebijakan moratorium reklamasi 17 pulau di Teluk Jakarta, termasuk mencabut pembatalan reklamasi Pulau G, yang dilakukan Menko Luhut tak bisa hanya berdasarkan pendekatan kekuasaan semata.

Demikian disampaikan akademisi yang juga mantan Menristek, AS Hikam, Minggu, 11/9). [Baca: Anulir Putusan Rizal Ramli, Luhut Lanjutkan Reklamasi Teluk Jakarta]

"Kalau kita menggunakan logika kekuasaan semata, maka dengan sangat mudah masalah reklamasi Pulau G itu berubah-ubah, tergantung dari siapa yang sedang berkuasa dan punya kewenangan mengambil keputusan. Tetapi jika kita menggunakan perspektif keadilan, persoalannya tidak sesederhana itu," ungkapnya.

Sebab, kekuasaan dan kewenangan dalam sebuah sistem demokrasi tidak bisa dilepaskan dari masalah keadilan sebagai landasan etik. Kekuasaan bisa saja menggunakan berbagai justifikasi, termasuk hukum.

"Tetapi secara substantif tidak akan bisa mengelak dari pertanggungjawaban etik: apakah ia dipergunakan untuk kemaslahatan umum ataukah hanya kepentingan sekelompok orang saja?" katanya menjelaskan.

Menurutnya, argumentasi Menko Luhut bahwa melanjutkan proyek reklamasi Pulau G adalah sesuatu yang konsisten karena telah dilakukan sejak zaman Orde Baru, sangat lemah secara substantif dan etik. Logika seperti itu menyiratkan bahwa reformasi yang dilakukan sebagai koreksi terhadap rezim Orba menjadi tak bermakna.

"Bukankah reformasi secara substantif merupakan sebuah perlawanan terhadap, dan karenanya tidak konsisten dengan, rezim Orba? Dalam kaitan dengan proses pembangunan, bukankah banyak ditemukan kongkalikong alias KKN antara pemilik modal dengan rezim Orba, sehingga perlu dikoreksi. Apakah LP lupa bahwa salah satu substansi reformasi adalah pemberantasan KKN tsb?" ungkap Menristek era Pemerintahan Gus Dur ini.

Selain itu, dia juga menyoroti argumentasi Luhut bahwa keputusan melanjutkan proyek reklamasi termasuk untuk Pulau G berdasarkan berbagai pertimbangan dari lembaga-lembaga yang dapat diandalkan, seperti BPPT, PLN, dan 'lembaga-lembaga lain" yang kompeten termasuk bidang lingkungan.

"Pertanyaan saya, apakah keputusan RR dibuat tanpa ada pertimbangan dari lembaga-lembaga yang berkompeten? Bukankah sebelum memutuskan agar reklamasi Pulau G itu dihentikan, pihak Menko Maritim di bawah RR juga telah melakukan kajian-kajian yang valid? Bukankah ada tim gabungan yang dibentuk dan di dalamnya termasuk Kementerian KKP dan KLH juga?" demikian AS Hikam. [zul]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA