Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Kompromi Dengan Realitas

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/tatang-muttaqin-5'>TATANG MUTTAQIN</a>
OLEH: TATANG MUTTAQIN
  • Selasa, 23 Agustus 2016, 06:51 WIB
Kompromi Dengan Realitas
SABTU lalu, kami sekeluarga berkunjung ke rumah Om Rudie Tromp dan Tante Sylvie sekaligus menyusuri pusat kota Assen, ibukota Province Drenthe. Sekalipun Negeri van Oranye ini kecil dan datar namun selalu ada keunikan setiap provinsi dan kota yang disinggahi. Drenthe merupakan provinsi yang berbatasan langsung dengan provinsi Groningen sehingga jarak tempuh Groningen-Assen hanya sekira 25 KM.

Keunikan Kota Assen dan Provinsi Assen ketika dilewati musim panas terasa sekali hijaunya sehingga wajar jika tersohor sebagai provinsi terhijau di se antero Belanda. Sebenarnya akan lebih enak jika disusuri dengan bersepeda sehingga dapat betul-betul menghirup udara yang segar sambil menikmati pemandangan rerumputan, "hutan-hutan" dan rawa.

Di samping ketenarannya dengan adanya kebun binatang Dierenpark Emmen, provinsi Drenthe juga memiliki sirkuit Grand Prix Belanda tepatnya di Assen TT. Bukti bekennya sirkuit ini, tak kurang dari 100 ribu penggemar motor datang untuk menonton para pembalap dengan motor-motor terbaik di dunia.

Di samping indahnya berakhir pekan, perjalanan ke Assen juga mengingatkan saya pada pelajaran Sejarah Indonesia, terutama di saat peliknya paska kemerdekaan dengan munculnya beragam pemberontakan. Salah satu yang cukup pelik adalah Republik Maluku Selatan (RMS) yang dipimpin RS Soumokil. Perjalanan Groningen-Assen membuka cakrawala peliknya penyelesaian masalah penopang kekuasaan Belanda di Nusantara, baik yang berprofesi sebagai pegawai negeri (ambtenaar), guru, asisten pendeta dan yang lebih rumit adalah tentara kerajaan Hindia Belanda pribumi atau Koninklijk Nederlands Indisch Legeryang lebih dikenal dengan KNIL.

Setelah penyerahan kedaulatan, tentara KNIL diberikan opsi bergabung dengan Belanda atau TNI. Ada sekitar 12.500 KNIL dari Maluku yang tidak mau bergabung dengan TNI dan sebagai solusi sementara dibawa ke Belanda dan sekitar tahun 1951 tiba di Rotterdam untuk selanjutnya ditempatkan di kamp-kamp untuk selanjutnya ke bangsal agar secara bertahap terjadi proses integrasi dengan penduduk Belanda (http://www.mollucastimes.com). Seiring dengan konsolidasi NKRI, harapan untuk kembali ke Maluku semakin sulit dan tidak realistik karena telah menjadi bagian NKRI yang merdeka dari Belanda.

Tentu saja hal ini menyisakan kekecewaan yang mendalam sehingga terjadi beberapa kali melakukan gerakan kekerasan seperti pembajakan kereta, salah satunya kereta dari Assen-Groningen dibajak pada 1977 di jembatan De Punt yang terletak di perbatasan provinsi Groningen dan Drenthe. Kita dapat membayangkan bagaimana tak mudahnya tentara-tentara KNIL yang merasa telah berjuang untuk Kerajaan Belanda termasuk untuk melawan pasukan Jepang harus berakhir di bangsal-bangsal.

Di sisi lain, mereka masih membayangkan Negara Maluku sendiri yang tentu bertentangan dengan realitas yang ada yang merupakan bagian dari wilayah kedaulatan Indonesia.

Itulah yang sering kita baca dan dengarkan di buku sejarah tentang RMS. Aksi kekerasan mantan tentara ini telah terjadi juga sebelumnya  di dekat Wijster, dua tahun sebelumnya serta pendudukan kediatam Duta Besar Indonesia di Wassenaar, Denhaag pada tahun 1970.

Sejarah tersebut mengingatkan saya pada presentasi Amy Nivette, peneliti dari University of Cambridge, United Kingdom dua bulan lalu. Presentasi Amy Nivette selanjutnya menjadi paper  yang cukup menarik dan mematahkan arus yang terlanjur berkembang dengan tajuk "Predictors of Violent Extremist Attitudes" (2016). Penelitian Nivette menggunakan data the Zurich Project on the Social Development of Children and Youth (z-proso), sebuah survei yang dilaksanakan secara longitudinal dengan melibatkan sampel yang besar, mutli-etnik, multi-agama dengan kohor sejak anak masuk sekolah dasar sampai usia 17 tahun sebagai masa kritis yang mudah terpengaruh ekstremism di kota Zurich (2004).

Dengan desain survey longitudinal ini memungkinkan Nivette untuk menguji ragam kedekatan dan kerenggangan faktor-faktor yang beresiko baik secara sosial, budaya dan psikologis sebagaimana telah diulas di banyak literatur tentang ekstemism dan tindakan kekerasan. Nivette (2016) mendedahkan bahwa setelah dikontrol dengan faktor sosial economic status (SES), faktor individual dan sosial, tak ada hubungan yang signifikan antara agama tertentu (dalam studi Nivette, Muslim yang mencapai dua pertiga sampel) dengan ektremism.

Selanjutnya, Nivette justru menemukan bakwa sikap ektremism lebih dipengaruhi SES, gender, kemampuan mengendalikan diri, keterputusan moral dan sikap sinis atau tidak percaya pada terhadap hukum positif yang ada. Singkatnya, Nivette merangkum bahwa: (1) ekstremism berhubungan dengan gender, dalam hal ini berjenis kelamin laki-laki signifikan dengan ekstremism; (2) Agama seseorang tidak berhubungan dengan ekstremism setelah dikontrol dengan SES; (3) penyebab ektremism adalah ketidakmampuan mengatasi masalah (poor coping skills), keterputusan moral dan sikap sinis terhadap hukum positif.

Temuan Nivette yang baru sedikit menjawab kenapa banyak terjadi pemberontakan di saat masa transisional. Pembajakan dan tindakan kekerasan yang dilakukan para mantan KNIL dulu tak lepas dari kealfaan berkompromi dengan realitas saat itu. Indonesia telah merdeka dan tentu seluruh rakyat dan tentaranya akan mempertahankan setiap jengkal wilayahnya dari gangguan intervensi dan separatisme. Jika Kerajaan Belanda secara bertahap dan terpaksa berkompromi dengan realitas Indonesia yang semakin kokoh saat itu tak mungkin bisa membalikkan pada realitas pra-kemerdekaan. Di sisi lain, mereka terlanjut memberi harapan palsu untuk para mantan KNIL terkait adanya peluang kembali ke negara harapan. Bisa dipahami kenapa demikian rumitnya hubungan Indonesia-Belanda saat itu dan ketidakmampuan mengatasi masalah, membuat para mantan KNIL nekad melakukan pembajakan dengan pertaruhan nyawa.

Menyimak perjalanan bangsa dengan membaca dan mendengarkan guru Sejarah di dalam kelas jelas berbeda dengan melihat tempat kejadian yang diperkaya dengan cerita-cerita langsung dari saksi mata di zamannya. Perjalanan ini semakin memberikan kesadaran akan pentingnya cinta tanah air, tak hanya di momen-momen peringatan kemerdekaan namun juga dalam keseharian mengisi kemerdekaan. Demikian beratnya perjuangan para pendiri bangsa yang mencurahkan tenaga, darah dan air mata untuk berdirinya sebuah bangsa, baik berkonfrontasi langsung dengan penjajah asing maupun berstrategi dan konfrontasi dengan sesama bangsa yang terlanjur bagian pihak lain.

Seberat apapun mengusir penjajah asing alias "fight from" tetap lebih mudah memetakan dan menegosiasikannya dibanding dengan rumit dan peliknya "bergulat" sesama bangsa untuk "fight for" dalam memenuhi secara bertahap utang janji kemerdekaan dalam kancah kepolitikan yang terkadang penuh dengan absurditas. Itulah realitas yang akan senantiasa berbeda tantangan dan zamannya.

Dirgahayu Kemerdekaan RI ke-71.Merdeka! [***]

Penulis adalah peneliti di The Inter-university Center for Social Science Theory and Methodology (ICS), University of Groningen, The Netherlands.

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA