Tergugatnya adalah Presiden Joko Widodo (tergugat 1), Menkopolhukam Luhut Panjaitan (tergugat 2) serta Menkumham Yasonna Laoly (tergugat 3).
Ketua Tim Kuasa Hukum PPP Djan Faridz, Humphrey Djemat, menyatakan dalam gugatan pihaknya, perbuatan Presiden, Menkopolhukam dan Menkumham yang tidak mengesahkan kepengurusan Jakarta dengan Ketua Umumnya Djan Faridz termasuk dalam kualifikasi perbuatan melawan hukum.
"Perbuatan melawan hukum yang dilakukan Pemerintah tersebut telah memenuhi unsur-unsur dalam pasal 1365 KUHPerdata. Sehingga dituntut kerugian materiil dan kerugian imateriil," kata dia kepada redaksi.
Kerugian materiilnya berupa tidak dapat diterimanya dana bantuan partai politik tahun 2015. Dan kerugian imateriilnya senilai Rp 1 triliun. Kerugian Imateriil akibat hilangnya kepastian hukum dalam hak politik, ketidakpercayaan kader PPP terhadap Muktamar Jakarta yang berdampak pada nama baik serta keresahan yang terus timbul didalam tubuh organisasi PPP.
Menurut Humphrey, dalam sidang hari ini semua pihak telah hadir dan diwakili oleh kuasa hukumnya. Pemerintah diwakili oleh pihak kejaksaan sebagai pengacara negara. Pada saat sidang tersebut majelis hakim menawarkan perdamaian melalui mediasi. Dalam proses mediasi tersebut, kuasa hukum PPP Djan Faridz menerima perdamaian dengan kondisi pemerintah melakukan pengesahan terhadap kepengurusan Muktamar Jakarta sesuai putusan Mahkamah Agung RI No. 601/2015 dalam bentuk suatu surat Keputusan sebagaimana yang diamanatkan oleh UU Partai Politik.
"Apabila permintaan tersebut dipenuhi oleh Pemerintah maka gugatan PPP Djan Faridz terhadap pemerintah akan dicabut, tentunya termasuk pula tuntutan ganti kerugian sebesar Rp 1 triliun," katanya.
Menurut Humphrey, jawaban terhadap penawaran perdamaian tersebut sepenuhnya terletak di tangan Presiden Jokowi sebagai atasan Menkumham. Presiden Jokowi perlu menyadari bahwa ia melawan putusan Mahkamah Agung yang telah berkekuatan hukum tetap bila terus menerus mendukung kebijakan Menkumham Yasonna Laoly. Presiden juga melalaikan kewajiban hukumnya yang diatur dalam UU Partai Politik.
"Apabila ini terjadi, bisa timbul anggapan Pemerintahan Jokowi sedang memamerkan bagaimana kekuasaannya dapat mengkerdilkan hukum," jelas dia.
Humphrey juga mengingatkan Presiden Jokowi untuk tidak merestui dan menghadiri kegiatan ilegal Muktamar yang dilakukan oleh pihak Romahurmuziy karena bertentangan dengan proses hukum yang sedang berjalan pada saat ini.
"Selain itu sikap kenegarawanan Presiden Jokowi patut dipertanyakan, bukannya patuh terhadap hukum malah secara terang terangan mengingkari hukum," pungkas dia.
[ald]
BERITA TERKAIT: