Presiden Jokowi dan Wapres Jusuf Kalla bersama Kabinet Kerja telah menggunakan dana pinjaman darurat dari World Bank dan ADB tidak untuk peruntukannya, yakni penggunaan alokasi pinjaman Deferred Drawdown Option (DDO) sekitar 5 Billion USD.
Saat ini dapat dikatakan Indonesia tidak lagi memiliki dana cadangan darurat (DDO) di World Bank dan ADB karena telah dicairkan, yang seharusnya hanya boleh digunakan jika terjadi bencana alam ataupun krisis keuangan dan krisis ekonomi yang sangat parah di Indonesia.
Utang Indonesia meledak dalam setahun sama jumlahnya dengan utang total Indonesia selama dipimpin oleh seluruh Presiden Indonesia sejak Presiden Soekarno. Dapat dibayangkan berdasarkan data dari Depkeu periode Januari 2016, sekitar 76 persen pendapatan pajak Indonesia habis dipergunakan hanya untuk membayar cicilan pokok utang dan bunganya.
Presiden Jokowi dan Wapres Jusuf Kalla tidak boleh mengikuti jalan yang salah dan sesat, seperti yang telah dilakukan negara-negara lain yang ratio utangnya terhadap GNP negaranya sampai ratusan persen.
Agresifnya pembangunan infrastruktur yang sedang dijalankan Presiden Joko Widodo dan Wapres Jusuf Kalla sangat berisiko membahayakan masa depan bangsa dan negara, karena ikut dibiayai dengan hutang luar negeri jangka pendek dan menengah, sementara investasi infrastruktur itu merupakan jangka panjang. Yang telah terjadi di depan mata adalah mismanajemen pengelolaan hutang negara.
Akibat semakin memburuknya ekonomi dunia yang tidak diantisipasi dengan baik oleh Presiden Joko Widodo dan Wapres Jusuf Kalla, harga minyak yang semakin jatuh, pendapatan pajak yang meleset jauh dari target, serta berbagai kegagalan lainnya, maka diprediksi dalam 2-3 tahun kedepan, Indonesia akan terjerat dalam jebakan hutang yang sangat besar karena percepatan pertumbuhan hutang yang sangat dahsyat. Dampaknya akan mengakibatkan kesulitan likuiditas keuangan negara dan pada akhirnya akan menciptakan krisis ekonomi yang sangat berat di Indonesia.
2. Pemerintahan Jokowi-JK telah merekayasa dan memanipulasi angka-angka produksi pangan dan perhitungan angka inflasi yang menyesatkan.
Presiden Joko Widodo dan Wapres Jusuf Kalla harus bertanggung jawab atas rekayasa data statistika palsu dan manipulasi (mark up) terkait angka-angka produksi pangan Indonesia, seperti produksi beras, jagung, gula, dan sektor pertanian lainnya.
Presiden dan Wapres harus mengusut dan menghukum siapapun pembantunya yang telah merusak bangsa dan negara ini dengan memanipulasi angka-angka produksi pangan. Ini adalah kejahatan yang sangat kejam dan paling amoral yang dilakukan pemerintah yang sedang berkuasa dalam sejarah kehidupan bangsa dan negara kita. Pemerintahan Jokowi-JK akan kehilangan kepercayaan dari rakyat karena harga bahan pangan terus melambung dan para mafia dan para spekulan semakin merajalela.
Pada sisi yang lain pendapatan masyarakat tidak meningkat, rupiah semakin terdepresiasi dimakan inflasi yang sesungguhnya sangat tinggi. Rakyat miskin semakin banyak, jurang pemisah antara yang kaya dan yang miskin semakin dalam dan lebar, akan sangat mudah memicu emosi sumbu pendek akibat kecemburuan dan kekecewaan di kalangan rakyat miskin.
Angka inflasi di Indonesia yang selalu diumumkan oleh Pemerintah juga harus dipertanyakan karena faktanya nilai rupiah terus terdepresiasi sangat signifikan setiap tahunnya sehingga daya beli masyarakat setiap tahun menurun sangat dramatis.
Tata cara perhitungan inflasi di Indonesia yang hanya menghitung kenaikan harga 9 kebutuhan pokok hidup rakyat juga telah disiasati oleh para produsen dan pelaku pasar dengan kenaikan yang luar biasa harga barang dan jasa di luar 9 harga bahan pokok tersebut.
Salah satu indikatornya sejak dahulu dipastikan seluruh Agen Tunggal Pemilik Merk (ATPM) menaikkan harga jual mobil minimal 10 persen setiap tahunnya. Jadi, tidaklah heran jika rupiah hampir tidak ada nilainya lagi dalam tempo 10 tahun karena setiap tahun seluruh ATPM di Indonesia telah menjatuhkan nilai rupiah rata-rata sebesar 10 persen.
3. Meledaknya PHK dan pengangguran di Indonesia menjadi bukti kegagalan dan ingkar janji Jokowi-JK dalam membuka lapangan pekerjaan (job creation).
Presiden Indonesia Joko Widodo dan Wapres Jusuf Kalla telah lalai dan melanggar janji kampanye untuk menciptakan lapangan kerja (job creation) sejak dilantik 1,5 tahun yang lalu. Semakin diperparah lagi dengan meledaknya pengangguran akibat PHK di dalam negeri maupun PHK dari luar negeri.
Semakin memburuknya perekonomian di kawasan Timur Tengah negara-negara Arab penghasil minyak akan menyebabkan PHK dan pemulangan terhadap TKI dan TKW dari Indonesia. Kelesuan ekonomi di Singapura dan Malaysia juga akan berakibat pemulangan dan PHK terhadap para pekerja TKI dan TKW yang berasal dari Indonesia.
Menghitung waktu yang sudah sangat terbatas serta mempertimbangkan kualitas dan kompetensi para Menteri Kabinet Kerja Jokowi-JK yang sangat rendah, hampir mustahil Presiden Joko Widodo dan Wapres Jusuf Kalla mengejar ketertinggalan dalam penciptaan lapangan kerja (job creation) ini.
Diprediksi dalam waktu 2-3 tahun kedepan potensial terjadi kerusuhan sosial di Indonesia akibat kelalaian Presiden Joko Widodo dan Wapres Jusuf Kalla dalam penciptaan lapangan kerja. Semakin diperburuk lagi karena Presiden Joko Widodo dan Wapres Jusuf Kalla telah mendatangkan sedemikian banyak buruh dari Tiongkok.
Pada saatnya, semakin menumpuk dan meledaknya pengangguran massal ini berpotensi menjadi kekuatan rakyat (people power) yang akan bergerak menuntut pertanggungjawaban dari Jokowi-JK.
Penulis adalah Presiden Negarawan Center