Sayangnya, tidak ada sepotong pun sumber resmi yang bisa dikonfirmasi kesahihan gosip ini. Tidak Joko Widodo, apalagi Jusuf Kalla. Tidak juga orang-orang yang dianggap menjadi lingkaran satu dan lingkaran ‘setengah’ Jokowi-JK.
Siapakah Kuntoro sebenarnya? Mengapa dia demikian sakti, hingga Jokowi pun sepertinya tak bisa "menolak" dia?
Lahir di Purwokerto, Jawa Tengah, pada 14 Maret 1947, karir birokrasinya terbilang panjang dan lengkap. Dia pernah menjadi Dirjen Pertambangan Umum (1993-1997), dua kali Menteri Pertambangan (Kabinet Pembangunan VII 1998 dan Kabinet Reformasi Pembangunan 1998-1999), Direktur Utama PLN (2000), serta Kepala Badan Pelaksana Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh-Nias (2005). Terakhir posisinya adalah Kepala UKP4 di era Presiden SBY.
Pejuang neolibSejauh itu kinerjanya biasa-biasa saja, jauh dari cemerlang. Bahkan selama di lingkaran kekuasaan, Kuntoro justru lebih banyak berperan sebagai kepanjangan tangan kepentingan kapitalis asing. Pengamat ekonomi politik Ichsanuddin Noorsy bahkan menyebut Kuntoro sebagai salah satu simpul utama kekuatan kaum neoliberalis di Indonesia. Masuknya Kuntoro di jajaran kabinet Jokowi-JK akan mengembalikan kekuatan neolib untuk menguasai Indonesia.
Noorsy benar. Rekam jejak Kuntoro sebagai antek kepentingan asing yang mengorbankan kepentingan rakyat Indonesia tergurat jelas ketika menjadi birokrat. Salah satu jasa penting Kuntoro adalah disahkannya UU No.22/2001 tentang Migas. Dia punya peran sangat vital dalam masuknya kepentingan asing sejak pembuatan draft RUU sampai disahkan menjadi UU. Asal tahu saja, lewat Kuntoro pula USAID masuk, bahkan mengucurkan dollar demi suksesnya pembahasan RUU yang draft-nya mereka buatkan.
Kisah pengkhianatan anak bangsa kepada bangsanya sendiri ini masih dapat ditemukan dalam arsip Kedutaan Besar Amerika Serikat untuk Indonesia di Jakarta. Pada 29 Agustus 2008 Kedubes AS mengeluarkan pernyataan resmi mengenai keterlibatan USAID dalam apa yang disebut sebagai proses reformasi sektor energi.
Lewat dokumen itu sangat jelas peran yang dimainkan Kuntoro pada awal 1999. Saat itu, sebagai Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral dia minta bantuan USAID me-review draft RUU Migas. USAID menyambut positif undangan itu dan selanjutnya bersama pemerintah Indonesia menandatangani Strategic Objective Grant Agreement (SOGA) yang berlaku untuk lima tahun, sekaligus mengucurkan bantuan US$20 juta.
Renegosiasi listrik swastaSepak terjang Kuntoro yang getol mengabdi pada kepentingan majikan asingnya itu juga ditunjukkan ketika menjadi Dirut PLN. Saat itu Pemerintah bermaksud merenegosiasi tarif 27 proyek listrik swasta yang harga jualnya ke PLN selangit. Maklum, ke-27 perusahaan listrik swasta yang didirikan negara-negara industri maju itu menggandeng keluarga dan kroni Soeharto pada periode 1990-an. Mereka datang dari Amerika Serikat, Inggris, Jepang, dan Jerman.
Ke-27 perusahaan listrik swasta tadi pada tahun 1996 meneken perjanjian jual beli listrik dari pembangkit swasta ke PLN yang tertuang dalam Power Purchase Agreement (PPA) atau Energy Sales Contract (ESC). Harga jual energi listrik yang dibebankan kepada PLN ternyata sangat gila-gilaan, berkisar antara US$7-9 sen per kWh. Padahal, penjualan listrik swasta di negara-negara Asia lainnya waktu itu cuma sekitar US$3,5 sen per kWh.
Jika berpegang pada kontrak PPA itu, PLN mesti merogoh koceknya dalam-dalam. Pada saat yang sama, kemampuan keuangan PLN pasca krisis ekonomi justru sangat jeblok. Semester pertama 2000, PLN didera rugi Rp 11,58 triliun. Tahun 2001, kerugiannya melambung jadi Rp 24 triliun.
Nah, apa peran Kuntoro selaku Dirut PLN waktu itu? Seharusnya, dialah orang pertama yang paling fight supaya tarif jual listrik swasta ke perusahaan setrum pelat merah itu diturunkan. Tapi faktanya tidak demikian. Jangankan menekan mitra asingnya, untuk sekadar melobi saja dia ogah-ogahan.
Melihat sikap itu, tidak heran bila Rizal Ramli, Menko Perekonomian selaku komandan Tim Renegosiasi Listrik Swasta, akhirnya mendepak Kuntoro. Rizal lalu menunjuk Eddie Widiono sebagai pengganti.
Syukurlah, sebagai Dirut PLN, Eddie bekerja dengan semestinya. Setelah menempuh perjuangan keras, renegosiasi pun akhirnya final. “Hasilnya, total kewajiban pemerintah dan PLN turun drastis, dari US$80 miliar menjadi US$35 miliar,†kata Rizal Ramli waktu dengan nada lega.
Gila jabatanKini mari kita telusuri lagi rangkaian jabatan yang pernah disandang Kuntoro. Sebelum menjabat Dirut PLN (2000), dia sudah dua kali menjadi Menteri ESDM (Kabinet Pembangunan VII, 1998 dan di Kabinet Reformasi Pembangunan 1998-1999), Sebelumnya, dia juga menjadi Dirjen Pertambangan Umum (1993-1997).
Siapa pun yang sekolahnya lulus SMP tentu paham benar, bahwa jabatan menteri pasti lebih tinggi dan bergengsi ketimbang dirut BUMN. Bahkan dibandingkan Dirjen saja, posisi sebagai Dirut BUMN sama sekali bukanlah tandingannya.
Tapi pertanyaan yang menggelitik publik ketika itu adalah, kok ya Kuntoro mau menjadi Dirut PLN setelah sebelumnya menjadi dirjen dan menteri? "Ironisnya" posisi dirjen dan menteri itu justru "majikan" langsung posisi dirut yang kemudian dipangkunya.
Menyikapi fakta ini, tidak mengherankan bila orang langsung berpendapat Kuntoro adalah manusia yang "gila" jabatan. Mending kalau "kegilaan" itu didasari sikap pengabdian kepada negeri, tanpa peduli posisi. Artinya, di posisi apa pun, semangat merah putih tetap bergelora di dada. Tentu saja, hal itu harus dibuktikan dengan berbagai sepak terang dan kebijakan yang diterlurkannya, semuanya berpihak pada kepentingan bangsa.
Tapi, sekali lagi, rekam jejak orang ini justru sebaliknya. Pengabdiannya kepada majikan asingnya seperti tanpa syarat. Dia tidak peduli, walau hal itu harus dilakukan dengan mengorbankan kepentingan bangsa dan negaranya.
Nah, dengan rekam jejak seperti ini, akankah Jokowi tetap menariknya sebagai menteri? Mr President, masih Anda mau memakai Kuntoro?
Penulis adalah Direktur Program Centre for Economic and Democracy Studies (CEDeS)