POLEMIK UU PILKADA

Prof. Jimly: Presiden Tak Perlu Repot-repot Gugat ke MK

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/ade-mulyana-1'>ADE MULYANA</a>
LAPORAN: ADE MULYANA
  • Selasa, 30 September 2014, 20:17 WIB
Prof. Jimly: Presiden Tak Perlu Repot-repot Gugat ke MK
rmol news logo . Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bisa saja tidak menandatangani undang-undang Pilkada yang disahkan DPR, akhir pekan lalu. Tapi, konstitusi mengatur bahwa dalam waktu 30 hari setelah disahkan, undang-undang tersebut berlaku sebagai undang-undang.

Demikian ditegaskan mantan Ketua MK, Prof. Jimly Asshiddiqie dalam keterangannya kepada RMOL, sesaat lalu (Selasa, 30/9). Di Indonesia, menurut Jimly, sudah ada lima undang-undang yang tidak ditandatangani oleh presiden dan tetap berlaku, salah satunya Undang-Undang Penyiaran.

"Itu (Undang-undang Penyiaran) tidak ditandatangani oleh presiden karena ribut-ribut kaya begini juga. Tapi dalam waktu 30 hari menurut ketentuan (UUD 1945) Pasal 20 ayat 5 menyebutkan bahwa undang-undang yang sudah mendapat persetujuan bersama berlaku sebagai undang-undang. Syah dan wajib diundangkan. Undang-undang telah memberi ketentuan bahwa Menteri Hukum dan HAM diwajibkan oleh UUD untuk mengundangkannya," papar dia.

Dikatakan lebih lanjut Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu ini, pemerintah atau presiden tidak bisa mengajukan judicial review terhadap Undang-Undang Pilkada di Mahkamah Konstitusi. Pasalnya, pemerintah tidak memiliki legal standing atas undang-undang yang telah dibuatnya sendiri.

"Pemerintah tidak perlu menggugat, kan sudah membuat undang-undang bersama DPR. Yang menggunggat pemohonnya juga sudah banyak. Ada  masyarakat, LSM, akadmisi, bahkan partai politik yang tidak setuju, jadi ngapain lagi presiden atau pemerintah mau repot-repot," imbuh dia.

Menurut Jimly, ada dua cara yang bisa ditempuh terkait masalah ini. Pertama, melakukan kritik terhadap undang-undang, artinya presiden menandatangani Undang-Undang Pilkada namun dengan catatan-catatan. Atau Presiden SBY yang juga selaku Ketua Umum Demokrat bisa menginstruksikan kepada para anggotanya yang duduk di DPR untuk merubah undang-undang itu melalui legislatif review.

"Partai Demokrat di DPR bisa mengambil inisiatif untuk mencabut atau mengubah kembali undang-undang pemilihan kepala daerah itu," saran pakar hukum tata negara di Universitas Indonesia ini.

Kedua, dengan mengefektifkan upaya judicial review di Mahkamah Konsitutusi. Jimly menyarankan, para pihak yang mengajukan  judicial review Undang-Undang Pilkada harus memperkuat argemen-argumennya. Bukan hanya terhadap materi, tetapi juga menguji formil dari undang-undang Pilkada. Mulai dari prosedur pembentukan, prosedur pengesahan, dan format undang-undangannya.

"Maka, para pemohon harus jeli. Jangan hanya uji materil tapi uji formil juga," katanya. [dem]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA