Jurubicara KPK, Budi Prasetyo mengatakan, auditor tidak bisa menghitung besarnya kerugian keuangan negara dalam perkara ini.
Alasannya, kata Budi, auditor menyatakan bahwa berdasarkan UU 17/2003 tentang Keuangan Negara, perkara tersebut tidak masuk dalam ranah keuangan negara.
"Sehingga atas hasil tambang yang diperoleh dengan cara yang diduga menyimpang tersebut, juga tidak bisa dilakukan penghitungan kerugian keuangan negaranya oleh auditor," kata Budi kepada wartawan di Jakarta, Senin malam, 29 Desember 2025.
Hal tersebut, lanjut Budi, mengakibatkan tidak terpenuhinya kecukupan alat bukti dalam penyidikan perkara tersebut, khususnya untuk memenuhi unsur Pasal 2 dan Pasal 3 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
"Selain itu, untuk pasal suapnya, ini juga terkendala karena kedaluarsa perkara," terangnya.
Untuk itu, KPK memastikan bahwa penerbitan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) murni pertimbangan teknis dalam proses penyidikan, yakni penghitungan kerugian keuangan negara yang tidak bisa dilakukan oleh auditor.
"KPK pastikan tidak ada intervensi dari pihak manapun," tegasnya.
Meski begitu, Budi mengaku memahami harapan tinggi publik dalam pemberantasan korupsi di sektor Sumber Daya Alam (SDA) dan lingkungan, karena dampak masif yang ditimbulkan. Tidak hanya besarnya kerugian keuangan negara, namun juga berpotensi mengakibatkan kerusakan pada kelestarian lingkungan.
"Namun tentu dalam proses hukumnya, harus tetap berdasarkan alat bukti," tuturnya.
Di sektor SDA, KPK juga masih menangani sejumlah perkara seperti dugaan gratifikasi metric ton batubara di lingkungan Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara, dan suap izin pengelolaan hutan di Inhutani.
"Di sisi lain, pada aspek pencegahan, KPK bersama para stakeholder lainnya, termasuk civil society, melalui tugas monitoring maupun koordinasi supervisi juga terus melakukan pendampingan dan pengawasan, diantaranya melalui perizinannya, sebagai pintu masuk pengelolaan SDA. KPK tetap membuka diri terhadap setiap saran dan masukan masyarakat, karena kami menyadari pemberantasan korupsi adalah upaya kolektif," pungkas Budi.
Sebelumnya, Wakil Ketua KPK periode 2015-2019, Laode Muhammad Syarif, menyatakan perkara Aswad sama sekali tidak layak dihentikan melalui penerbitan SP3, mengingat besarnya dampak terhadap sumber daya alam dan potensi kerugian negara.
"Kasus itu tidak layak untuk diterbitkan SP3 karena menyangkut sumber daya alam yang sangat penting dan kerugian negaranya besar," ujar Laode, dikutip dari Antara, Minggu, 28 Desember 2025.
Laode mengungkapkan, pada masa kepemimpinannya di KPK, penyidik telah mengantongi bukti yang cukup terkait dugaan tindak pidana suap dalam perkara Aswad Sulaiman. Bahkan saat itu BPK tengah melakukan penghitungan kerugian keuangan negara.
"Makanya sangat aneh kalau KPK sekarang menghentikan penyidikan kasus ini," tegasnya.
Sebelumnya pada Kamis, 14 September 2023, Aswad Sulaiman sempat mau ditahan KPK. Namun, Aswad Sulaiman mendadak sakit sehingga dilarikan ke RS Mayapada pada saat itu.
Aswad Sulaiman diduga melakukan praktik rasuah saat menjabat sebagai Bupati Konawe Utara periode 2007-2009 dan 2011-2016.
Aswad diduga memberikan izin pertambangan dengan melawan aturan hukum. Dalam perkaranya, Aswad diduga merugikan keuangan negara mencapai Rp2,7 triliun, dan menerima suap sebesar Rp13 miliar.
BERITA TERKAIT: