Dugaan pelanggaran tersebut dikelompokkan ke dalam pelanggaran pidana (209 kasus), administrasi (3.238 kasus), dan wilayah kode etik (42 kasus). Selain itu, 18 kasus kategori bukan pelanggaran pemilu.
Menilai hal itu, pengamat pemilu Lingkar Madani Indonesia (Lima), Ahmad Fauzi, menyatakan, Bawaslu lagi-lagi kehilangan urgensitas. Saat masyarakat resah dan marah akan maraknya praktik politik uang dan jual beli suara, Bawaslu seperti tak punya desain mengatasinya.
"Jika desain pencegahan dan pemberantasannya tidak ada, tentu upaya di lapangan juga hanya bersifat reaksioner. Di saat desain dan langkah itu tak terjelaskan, Bawaslu malah mengumbar data pelanggaran yang entah apa urgensinya dengan pemberantasan politik uang dan jual beli suara," kata pria yang bernama beken Ray Rangkuti itu melalui pesan elektronik (Kamis, 17/4).
Data Bawaslu itu, lanjut Ray, juga belum sepenuhnya merekam berbagai peristiwa. Sejatinya, data disampaikan setelah semua tahapan Pileg dinyatakan selesai. Akibatnya, semarak kasus politik uang dan jual beli suara seolah tidak terekam dalam data ini. Efeknya, dua praktik ini seolah tidak signifikan, bahkan berkesan tidak ada.
"Selain jumlah pelanggarannya yang terasa sedikit, data Bawaslu juga baiknya menjelaskan berapa hasil laporan masyarakat dan berapa total hasil temuan Bawaslu sendiri," lanjutnya.
Pembedaan data itu, katanya, penting untuk mengukur partisipasi masyarakat di satu pihak, dan sejauh apa kinerja Bawaslu di pihak lain.
[ald]
BERITA TERKAIT: