Kejanggalan lainnya adalah buruknya kualitas tinta suara. Pun mengenai pengadaan surat suara pemilu 2014, Bawaslu menemukan permasalahan di 43 pabrik, dari 11 konsorsium pemenang paket pengadaan surat suara. Permasalahan tersebut ialah tak semua pabrik melakukan pencetakan suara, seperti pabrik di Kabupaten Kubu Raya dan Kabupaten Tangerang Selatan.
Dan yang lebih fatal lagi adalah bahwa menurut Bawaslu perusahaan pencetakan surat suara tak memperbarui produksi surat suara versi DPT (Daftar Pemilih Tetap) 4 November 2013, padahal telah ada perbaikan DPT per 20 Januari 2014.
Berangkat dari paparan di atas, Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Indonesia berpandangan, sesuai pasal 8 huruf ayat (1) huruf n UU 15/2011 tentang Penyelenggara Pemilu, tugas dan wewenang KPU dalam penyelenggaraan pemilu anggota DPR, DPD dan DPRD adalah menindaklanjuti dengan segera rekomendasi Bawaslu atas temuan dan laporan adanya dugaan pelanggaran pemilu.
Kedua, soal surat suara yang dijelaskan di atas, bisa berdampak pada selisih (kelebihan) surat suara karena perusahaan pencetakan suara awalnya berpatokan pada DPT 4 November 2013, kemudian berubah menjadi DPT per 20 Januari 2014.
"Hal ini harus diantisipasi dengan segera karena besar kemungkinan surat suara yang telah terdistribusi bisa berpotensi pada rawannya penggelumbungan suara," ujar Wakil Sekretaris Jenderal KIPP Indonesia, Girindra Sandino, dalam pernyataan tertulis, Sabtu (1/3).
Ketiga, mengenai KPU yang tidak kooperatif, Penyelenggara pemilu seharusnya taat pada asas yang sudah ditentukan dalam pasal 2 UU 15/2011 tentang Penyelenggara Pemilu. Khususnya asas kepentingan umum, keterbukaan, proporsionalitas, profesionalitas dan akuntabilitas.
"KIPP Indonesia mendesak Bawaslu memperketat pengawasan logistik pemilu 2014. KIPP Indonesia dalam hal ini juga mendesak agar penyelenggara pemilu menjauhi 'relasi konfliktual antara penyelenggara pemilu', demi terwujudnya pemilu yang jauh dari penyimpangan," tandasnya.
[ald]
BERITA TERKAIT: