Dukungan terhadap ketiga Parpol Islam tersebut tergerus oleh peran partai nasionalis seperti Golkar, Demokrat, PDI Perjuangan, Nasdem, Hanura dan Gerindra, di samping juga perpecahan internal parpol Islam.
Demikian pendapat Direktur Eksekutif Lembaga Survei Independen Nusantara (LSIN), Yasin Mohammad, dalam keterangan yang diterima redaksi (Kamis, 20/2).
Berdasarkan penelitian Herbert Feith, seorang Indonesianis dan profesor di bidang ilmu politik, politik di Indonesia adalah politik aliran sebagaimana tercermin pada dekade 1950. Potret sejarah partai politik Islam terus berkembang dan berinovasi sesuai konteks zamannya. Setelah terpusat pada PPP, pada masa reformasi muncul parpol Islam yang merupakan bagian dari investasi politik sebuah paham aliran. PAN (Muhammadiyah) dan PKB (Nahdlatul Ulama/NU), sementara PPP mencoba menyatukan para ulama dengan kembali ke rumah ka’bah.
Pada masa awal reformasi, parpol Islam, terutama PKB dan PAN, merengkuh suara yang sangat menjanjikan karena dukungan penuh dari organisasi keagamaan di belakangnya. PAN dengan Muhammadiyah menjadi partai yang mampu mewarnai perpolitikan Indonesia di masa reformasi, sosok Amien Rais turut serta menyumbang besar kebesaran PAN.
Kemudian PKB juga meraih sukses besar atas dukungan basis Nahdlotul Ulama (NU) dengan sosok Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai tokohnya. PPP juga masih kokoh dengan basis dukungan loyalis yang terpusat pada tokoh-tokoh dan kyai-kyai di daerah.
Tapi kini, lanjut Yasin, parpol berbasis Islam layu dan tidak bisa berkembang. Situasi yang terjadi pada PAN, PKB dan PPP saat ini ibarat anak ayam yang kehilangan induknya terpecah belah dan mengalami kebingungan.
"PAN PKB dan PPP dalam posisi kehilangan arah akibat perpecahan internal yang diciptakannya sendiri," terangnya.
Hasil survei LSIN yang dirilis pada 1 Desember 2013 menunjukkan elektabilitas parpol Islam berselisih sangat jauh dengan partai politik nasionalis. Elektabilitas PAN sebesar 5,0 persen, kemudian PKB 4,5 persen, dan PPP 4,1 persen.
[ald]
BERITA TERKAIT: