"Dalam implikasi di berbagai negara, industri migas merupakan lahan atau tempat yang rawan terjadi korupsi, tak terkecuali migas Indonesia. Sejak Hindia Belanda, Pertamina, sampai era SKK migas masih banyak dugaan penyimpangan dan korupsi," kata periset korupsi migas Indonesia Coruption Watch (ICW), Firdaus Ilyas, dalam diskusi "Gilas Mafia Migas" di Cikini, Jakarta, Sabtu (23/11).
Pemerintah Indonesia, sebutnya, sampai saat ini sulit mengelola industri migas untuk mewujudkan kontribusi besar kepada kepentingan negara dan rakyat, serta memperkuat posisi tawar Indonesia dalam konteks kepentingan geopolitik global.
"Saat ini kita belum bisa menjawab tantangan-tantangan besar ini," tegasnya.
Agustus lalu terjadi operasi penangkapan kasus suap atas Kepala SKK Migas terkait salah satu fungsi SKK Migas yaitu berhak dan berwenang menunjuk penjual minyak dan gas bagian negara. Kasusnya pun merembet kemana-mana dan ditemukan beberapa pihak ketiga, seperti jasa penunjang bagian dari mitra SKK Migas dan pihak konsultan .
Menurut Firdaus, mafia migas nasional dapat terus beroperasi karena ada unsur politik, bisnis, birokrasi, dan kepentingan global yang bercampur dalam perputaran uang, yang di hulu migas saja dalam setahun bisa mencapai Rp 700 triliun.
"Dengan kebocoran uang sangat besar di sisi lain pengawasan yang sangat minim, kemudian dalam konteks tidak transparan, kemudian dilihat dari sisi kepentingan publik yang tidak tahu jelas siapa saja pemain migas nasional ini. Apakah media dan publik tahu siapa saja rekanan migas kita di SKK Migas atau Pertamina?" ucapnya.
[ald]
BERITA TERKAIT: