Diuraikan Staf Khusus Presiden bidang Ekonomi dan Pembangunan, Firmanzah, ketika krisis ekonomi terjadi pada 1998, Indonesia baru tersadar bahwa fundamental ekonomi nasional belum kuat benar untuk menopang gejolak eksternal. Padahal, dalam beberapa waktu sebelum krisis, ekonomi Indonesia mampu tumbuh secara mengesankan. Misalnya, pada 1994 angka pertumbuhan ekonomi mencapai 7,54 persen dan bahkan pada 1995 mencapai 8,22 persen. Sementara itu, cadangan devisa kita tertinggi pada 1996 mencapai 19,125 miliar dolar AS.
Namun, lanjut Firmanzah, buruknya pengelolaan perbankan serta tidak terkendalinya penumpukan utang luar negeri swasta ditambah dengan posisi rupiah yang dianggap overvalued mengakibatkan kerentanan (vulnerabilitas) pada sistem keuangan kita pada saat itu.
"Sejumlah faktor non-ekonomi pada saat itu juga membuat krisis 1998 lebih dalam dan jauh lebih kompleks. Akibatnya krisis multidimensi dan tidak hanya terbatas pada krisis ekonomi saja," papar Firmanzah lewat situs resmi Sekretariat Kabinet, Senin pagi (26/8).
Ia menjelaskan, faktor non-ekonomi antara lain seperti sentralitas kekuasaan, belum berjalannya sistem dan budaya demokrasi secara lebih substansial, kebebasan pers dan media yang sangat terbatas, terbatasnya akses politik dan rendahnya partisipasi segenap eleman bangsa dalam pembangunan di berbagai bidang. Akibatnya, krisis keuangan yang terjadi di sejumlah negara seperti Korea Selatan dan Thailand membuat goncangan hebat dalam sistem ekonomi, politik, tata-kelembagaan dan sosial di Indonesia pada tahun 1998.
Adapun pada saat krisis subprime mortgage 2008, menurut Firmanzah, tekanan tidak hanya terjadi pada rupiah dan cadangan devisa, tetapi juga bagaimana kita mengelola tekanan inflasi pada saat itu. Ia menyebutkan, cadangan devisa kita sampai akhir 2008 mengalami tekanan dan tercatat sebesar 51,6 miliar dolar AS. Sementara nilai tukar rupiah terhadap dollar AS pada 19 November 2008 ditutup pada posisi Rp. 12.190/dolar Amerika Serikat. Di era reformasi posisi ini merupakan tertinggi dan lebih tinggi bila dibandingkan pada penutupan 11 April 2001 sebesar Rp 11.755/dollar AS.
"Kita bersyukur, bahwa dampak krisis subprime mortgage telah mampu kita lewati bersama dan ekonomi kita mampu tumbuh sebesar 6,1 persen pada 2008," ungkap Firmanzah.
Menurut Guru Besar Fakultas Ekonomi Universita Indonesia itu, posisi fundamental ekonomi dan non-ekonomi kita saat ini jauh lebih kuat bila dibandingkan pada 1998 dan 2008.
Dari sisi ekonomi, cadangan devisa kita tercatat sebesar 92,67 miliar dolar AS, rasio utang terhadap PDB hanya dalam kisaran 24 persen, pertumbuhan ekonomi meskipun diperkirakan menurun namun tetap diproyeksikan diatas 5,9 persen pada 2013, dan investasi di sektor riil meningkat 30,3 persen pada semester I-2013.
[ald]
BERITA TERKAIT: