Pandangan tersebut disampaikan peneliti Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Salamuddin Daeng, Selasa (15/1).
Dia mencontohkan kasus diambil alihnya HM. Sampoerna oleh Phillip Morris perusahaan asal AS merupakan contoh nyata. Secara otomatis seluruh keuntungan atas perdagangan tembakau dan rokok berpindah ke Amerika Serikat. Phillip Morris juga menjadi saluran bagi impor tembakau asal AS. Oleh karenanya, wajar kalau kemudian perusahaan ini menjadi pengguna tembakau impor yang saat ini diperkirakan telah mencapai 120 ribu ton termasuk dari AS. Produksi nasional hanya 180 ribu ton dan impor hampir separuh dari kebutuhan nasional.
"Intinya investasi nekolim bentuk ini akan menjadi jalur impor dari negara imperialis," terangnya.
AEPI menyayangkan langkah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) 109/2012 yang spiritnya menghancurkan industri kretek nasional untuk digantikan oleh rokok putih milik Phillip Morris dan BAT, dan lain-lainnya.
"Demi mengabdi pada perusahaan multinasional tembakau yang saat ini telah menguasai pasar rokok nasional dan memuluskan jalannya impor tembakau, Presiden SBY mengesahkan PP 109/2012," sesalnya.
Menurut Daeng, pembuatan PP anti Pertanian dan Industri tembakau oleh kabinet SBY menunjukkan keberpihakan rezim ini pada modal asing. Kebijakan SBY memperoleh dukungan dari perusahaan Sampoerna yang 99 % sahamnya dimiliki Phillip Morris.
"Pemerintahan SBY mewakili watak kapitalisme ortodoks kuno ala Belanda. Tindakan SBY tak ubahnya dengan tindakan para Gubernur Jenderal Belanda," tegasnya.
[dem]
BERITA TERKAIT: