Kontroversi muncul karena pasal yang mewajibkan capres mengantongi dukungan 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah itu sebelumnya pernah digugat ke MK pada Februari 2009.
Menurut pakar tata negara, Margarito Kamis, gugatan kembali ke MK tak masalah asal gunakan argumentasi yang lebih tepat dan kokoh. Dia tegaskan, PT memang inkonstitusisional berapapun angka yang dipasang.
"Jangankan 20 persen, nol persen saja inkonstitusional," lontar doktor hukum asal Ternate itu, saat dihubungi
Rakyat Merdeka Online, sesaat lalu (Jumat, 4/1).
Dia menerangkan, konstitusi sejatinya sama sekali tidak mengenal pembatasan-pembatasan itu. Para pembentuk pasal 6A UUD 45 sama sekali tidak memaksudkan ada pembatasan dengan angka-angka. Perdebatan di Badan Pekerja MPR pada waktu itu menghendaki pemilu berlangsung bersamaan. Sedangkan pada varian kedua, pemilihan legislatif adalah ajang kontestasi calon presiden. Jadi, parpol yang ikut pemilu sudah menjual nama capres mereka. Dua partai yang memperoleh suara terbanyak dalam pemilu legislatif itulah yang pasangan calonnya dibawa ke pemilihan presiden
"Itu dasar pikirannya. Dasar pikiran ini menjadi salah ditafsirkan. Para pembentuk pasal 6A itu membayangkan pasangan capres lebih dari satu atau dua, akan banyak capres, karena itulah maka mereka membikin jadi dua putaran," katanya.
"Nah, soal dua putaran itu, waktu itu ada pendapat yang berkembang yaitu pada putaran kedua dipilih MPR. Tapi karena MPR dibubarkan kewenangannya, maka dikembalikan ke hak rakyat secara langsung langsung," tambah Margarito
Dengan dasar pikiran itu, maka tidak diebenarkan adanya PT itu. Dia ingatkan, argumentasi terbaik untuk melawan PT bukan seputar besaran angkanya, tapi dasar pikiran yang berkembang pada saat pembentukan pasal 6A.
"Jangan bermain di angka saja, tapi harus temukan ide orisinal yang muncul dalam perdebatan di Badan Pekerja MPR khususunya pasal 6A. Kalau itu yang mereka bongkar, mereka main di angka-angka dan logika politik yang menurut saya kurang kuat," ungkapnya.
Memang, PT hanya akan melahirkan oligopoly, melahirkan kelompok besar yang hadirkan calon presiden itu lagi-itu lagi. Tapi dia yakin, MK akan sulit menemukan jalan lain kalau mereka mendemonstrasikan dasar pikiran para pembentuk pasal 6A. Membuka lagi perdebatan BP MPR pada waktu itu tidaklah sulit karena dapat didalami melalui berbagai dokumen.
"Jadi jangan ulangi kesalahan gugatan terdahulu ke MK. Dalami pikiran para pembentuk pasal soal pemilihan presiden itu supaya lebih kokoh," tegasnya lagi.
[ald]
BERITA TERKAIT: