Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Pergantian Panglima Pakai Sistem Rotasi

Permintaan Purnawirawan & Komisi I

Senin, 04 Desember 2017, 10:23 WIB
Pergantian Panglima Pakai Sistem Rotasi
Foto/Net
rmol news logo Teka-teki siapa yang akan menggantikan Jenderal Gatot Nurmantyo sebagai Panglima TNI masih belum terbaca se­cara jelas. Presiden Jokowi be­lum memberikan sinyal pasti, dari angkatan mana Panglima baru nanti diangkat.

Kepala Badan Intelijen Strategis (Kabais) TNI periode 2011-2013 Laksda TNI (Purn) Soleman B Ponto dan Anggota Komisi I DPR Bobby Adhityo Rizaldi berharap, dalam per­gantian itu, Presiden Jokowi menerapkan sistem rotasi seperti yang selama ini digu­nakan. Kedua menganggap, penerapan sistem itu penting demi menjaga kesolidan di internal institusi TNI.

Soleman menerangkan, Pasal 13 ayat (4) UU Nomor 34/2004 tentang TNI mengatur bahwa posisi Panglima TNI dapat dijabat secara bergantian oleh perwira tinggi aktif dari tiap-tiap angkatan yang sedang atau pernah menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan. Jadi, pola rotasi tersebut memang sudah diatur meski tidak di­wajibkan.

Namun, dalam praktiknya, TNI AD mendapat giliran kesempatan yang lebih besar daripada TNI AL dan TNI AU. Hal itu terlihat dari tu­juh Panglima terakhir yang diangkat sejak era reformasi. Pertama, jabatan Panglima dipegang Laksamana Widodo (TNI AL), kemudian bera­lih ke Jenderal Endriartono Sutarto (TNI AD). Setelah itu, dijabat Marsekal Djoko Suyanto (TNI AU) yang ke­mudian dilanjutkan Jenderal Djoko Santoso (TNI AD). Selanjutnya, oleh Laksamana Agus Suhartono (TNI AL), Jenderal Moeldoko (TNI AD), dan terakhir Jenderal Gatot Nurmantyo (TNI AD). Pola umumnya adalah dari TNI AL ke TNI AD, kemudian ke TNI AU.

Bila mengikuti pola itu, kata Soleman, penempatan Gatot sebagai Panglima TNI pada 2015 lalu sebenarnya sudah merusak pola yang telah ter­bentuk.

"Bila mengikuti pola yang sudah terbentuk, setelah Jenderal Moeldoko, jabatan Panglima TNI seharusnya diisi dari TNI AU. Tapi kenyatannya diisi dari TNI AD. Apabila ke­mudian Jenderal Gatot diganti lagi oleh KSAD, pola yang terbentuk menjadi semakin rusak. Hal ini akan sangat berpengaruh terhadap soliditas TNI," tuturnya.

Padahal, kata Soleman, sejak diberlakukannya UU Nomor 34/2004, tugas ketiga angkatan menjadi sangat jelas. Tidak ada salah satu angkatan yang dominan. "Itulah sebabnya, ketiga Kepala Staf dapat men­jabat Panglima TNI secara bergiliran. Tidak lagi didominasi TNI AD seperti yang terjadi pada zaman sebelum berlaku­nya UU TNI."

Karena itu, dia berpendapat, yang paling berpeluang untuk menjadi pengganti Gatot ada­lah berasal dari KSAU dan KSAL. Bila Presiden Jokowi ingin memperbaiki pola rotasi yang sudah terbentuk, pilihan­nya akan jatuh kepada KSAU. Akan tetapi, bila Presiden ingin mensukseskan Indonesia sebagai poros maritim dunia, pilihannya bisa jadi jatuh ke­pada KSAL.

"(Tapi) siapa pun nantinya yang akan terpilih, harus kita hormati. Sebab, mengangkat Panglima TNI adalah prerogatif Presiden," katanya.

Anggota Komisi I DPR Bobby Adhityo Rizaldi ber­pendapat, dari tiga Kepala Staf yang ada, KSAU Hadi Tjahjanto berpeluang lebih besar menjabat Panglima TNI periode berikutnya. Ada be­berapa alasan yang membuat politisi muda Partai Golkar ini menjagokan Hadi Tjahjanto sebagai pengganti Gatot.

"Di era Jokowi, Beliau per­nah menjabat Sekmil dan juga termasuk prajurit TNI ber­prestasi," katanya. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA