Negara-negara ASEAN tidak bisa berlindung di balik prinsip menghormati kedaulatan Myanmar atas tragedi ini.
Demikian ditegaskan Ketua Setara Institute Hendardi dalam keterangannya.
Hendardi mengatakan, pembiaran dunia internasional atas Rohingya diduga kuat memiliki motivasi politik ekonomi kawasan, sehingga Aun San Su Kyi terus memperoleh proteksi politik, karena belum ada rezim pengganti yang potensial dan akomodatif menjaga kepentingan sejumlah negara-negara yang memiliki kepentingan kuat.
Meski demikian, krisis rohingya lebih merupakan krisis yang lebih besar didorong oleh dinamika politik dalam negeri Myanmar. Dengan demikian, potensi gangguan keamanan terhadap kawasan tidak akan menyebar sebagaimana penyebaran kelompok ideologis ISIS. Namun, lanjut Hendardi, antisipasi tetap harus dilakukan karena biasanya kelompok seperti ISIS, menjadikan wilayah konflik sebagai sasaran mereka untuk mengumbar radikalisme-nya.
"Yang pasti akan makin banyak
asylum seeker (pencari suaka) ke Indonesia dan sejumlah kawasan lain. Para pencari suaka adalah problem
human security dan kewajiban negara-negara untuk mencari resolusi terbaik bagi rohingya," terangnya.
Hendardi mengindikasikan keterlibatan tentara Myanmar dalam krisis rohingya. Itu menjadi bukti bahwa kekerasan di Myanmar dipelopori oleh negara.
Karena itu, selain intervensi kemanusiaan, menurut dia, advokasi Myanmar juga sangat dimungkinkan karena genosida merupakan salah satu kejahatan internasional yang termasuk kompetensi absolut International Criminal Court (ICC) dengan yurisdiksi internasional.
"Atas nama kemanusiaan, pemerintah Indonesia harus menjadi pelopor penanganan rohingya," tandas Hendardi.
[wid]
BERITA TERKAIT: