Sekitar 300 orang, dari antara seluruh militan ISIS, diprediksi berasal dari Indonesia. Kelompok ini bisa sewaktu-waktu pulang dari medan "jihad" mereka di Timur Tengah dan memindahkan wilayah perang mereka ke Tanah Air.
Demikian disampaikan mantan Wakil Kepala Badan Intelijen Negara (BIN), As'ad Said Ali, kepada
RMOL, beberapa waktu lalu, di kantornya, Jakarta Selatan.
"Ini tidak main-main. Karena apa? Ada kekuatan yang bersaing. Barat dengan liberalnya terus menekan masyarakat Islam yang tidak semuanya mau menerima peradaban Barat," ujar As'ad.
Wakil Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama ini menerangkan bahwa tidak ada ajaran demokrasi di dalam kita suci Al Quran bagi ISIS. Karena itu, benturan peradaban tidak terhindarkan.
"Dalam banyak hal, kita di Indonesia bertentangan dengan Barat. Kita kan melawan juga, tapi kita berantem secara politik dan dialog. Sedangkan mereka (ISIS) konfrontasi. Hanya senjata yang bicara, tidak ada komporomi," imbuh As'ad, yang pernah 9 tahun lebih menjabat Wakil Kepala BIN.
Dalam pengamatannya, ada sekitar 300-an warga negara Indonesia yang "berjihad" bersama ISIS. Mereka berperang bukan cuma dalam hal membela agama, tapi juga membela kepentingan politik ISIS.
"Di sana kan bukan soal agama saja, tapi ada politik. Sesudah itu selesai, mereka pindah ke tempat lain. Lalu ada yang pulang ke Indonesia. itu yang harus diawasi karena dampaknya luar biasa," ungkapnya.
Kelompok itu, lanjutnya, sama seperti kebanyakan masyarakat dunia termasuk di Indonesia, yang menghadapi ketidakadilan Barat.
"Tapi kalau saya pribadi kan menghadapi Barat dengan dialog, politik, strategi dan konsolidasi. Kalau mereka hanya perang," tambahnya.
Pemegang gelar doktor kehormatan bidang hukum dari Universitas Diponegoro ini mengatakan, masyarakat dan pemerintah Indonesia mau tidak mau harus siap mengantisipasi kedatangan ISIS dalam gelombang besar.
"Mau tidak mau harus hadapi ini. Kita harus mengajak masyarakat dan ulama dan tokoh masyarakat dan juga non muslim untuk menghadapi bersama. Integrasi intelijen harus dimainkan. Dibutuhkan pengorganisasian-pengorganisasian," tegasnya.
"Kita harus membuat bagaimana masyarakat menjadi bagian intelijen tanpa secara formal. Berdayakan masyarakat dalam pertahanan dan keamanan. Itu kan membutuhkan kesadaran. Ini yang bisa kita lakukan untuk mengantisipasi ISIS," pungkas As'ad.
[rus]
BERITA TERKAIT: