Staf Khusus Menteri Agama Bidang Kebijakan Publik, Media, dan Pengembangan SDM, Dr. Ismail Cawidu, mengatakan media seharusnya tidak hanya berfungsi menyebarkan informasi, tetapi juga menjadi ruang edukasi dan dialog publik.
"Media itu edukator. Dari medialah pemahaman dan pendalaman tentang toleransi bisa dilakukan. Di ruang media itulah masyarakat bisa berdialog dan belajar saling menghormati,” ujar Ismail Cawidu di Jakarta, Rabu 5 November 2025.
Menurutnya, program toleransi umat beragama menjadi prioritas utama Kemenag, karena menjadi fondasi penting dalam membangun bangsa yang damai dan berkeadilan. Ia menilai, banyak aspek kehidupan yang bisa memicu intoleransi -- mulai dari perbedaan keyakinan, politik, hingga ideologi.
Ismail mengingatkan bahwa Indonesia memiliki sejarah panjang konflik berlatar agama, seperti di Poso dan Maluku. Karena itu, ia menilai penting untuk terus memperkuat kesadaran publik tentang arti toleransi. “Potensi intoleransi di Indonesia sangat besar, mulai dari agama dan kepercayaan hingga politik. Tantangan kita saat ini adalah rendahnya literasi toleransi di masyarakat,” ungkapnya.
Ia menambahkan, indeks toleransi beragama di Indonesia saat ini berada di angka 76 persen. Meski tergolong cukup tinggi, kondisi itu masih menghadapi tantangan serius, seperti penyebaran ujaran kebencian dan meningkatnya radikalisme di dunia maya.
Di kesempatan yang sama, Dirjen Bimbingan Masyarakat (Bimas) Islam Kemenag, Abu Rokhmad, juga mendorong penguatan toleransi dan kerukunan umat melalui kegiatan nyata. Menurutnya, berbagai rangkaian acara digelar untuk memperingati Hari Toleransi Internasional dengan tema “The Wonder of Harmony: Merajut Cahaya Islami Keberagamaan, Cinta, dan Harapan.”
“Kami menggelar festival film Islami nasional, bimbingan bagi remaja usia nikah, hingga kegiatan ngaji budaya sebagai cara menanamkan nilai-nilai moderasi beragama,” jelas Abu Rokhmad.
BERITA TERKAIT: