Wakil Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat Djoko Setijowarno mengatakan dibutuhkan peta jalan (roadmap) yang jelas dan terukur untuk menyelesaikan masalah truk kelebihan muatan.
"Roadmap adalah rencana atau panduan terperinci yang menggambarkan tahapan dan langkah-langkah untuk mencapai tujuan tertentu," kata Djoko, dalam keterangannya di Jakarta, dikutip Rabu 11 Juni 2025.
Tanpa roadmap yang jelas, ibarat macan ompong. Ketidakjelasan itu diperparah apabila pemerintah belum merevitalisasi jembatan timbang alias Unit Pelaksana Penimbangan Kendaraan Bermotor (UPPKB).
Sejauh ini. instrumen pengawasan seperti jembatan timbang tidak berfungsi optimal di lapangan. Alih-alih menjadi alat pengendali, menurut Djoko, UPPKB berubah menjadi "macan ompong" yang hanya berdiri sebagai simbol.
Sejauh ini tidak sedikit jembatan timbang di daerah belum sepenuhnya beroperasi atau bahkan ada yang terbengkalai. Berdasarkan data 2021, jembatan timbang yang beroperasi hanya sekitar 88 dari total 134 yang ada. Masalah ini tampaknya membuat para sopir truk enggan masuk ke jembatan timbang.
Djoko melanjutkan, banyak UPPKB yang overkapasitas, juga tidak dilengkapi teknologi mutakhir seperti Weight-in-Motion, dan menjadi titik rawan praktik pungli. Di sisi lain, uji KIR justru menjadi lahan pemasukan daerah tanpa pengawasan terintegrasi, bahkan sekitar 80 persen truk lolos tanpa proses uji yang sah.
"Banyak yang kelebihan kapasitas, fasilitasnya terbatas, dan rawan pungli," kata Djoko lagi.
Melihat kompleksitas ini, MTI menyampaikan tiga usulan langkah strategis lintas sektor dan menyasar akar masalah dalam implementasi truk kelebihan muatan, yaitu;
1. Penyusunan masterplan simpul dan lintasan angkutan barang terintegrasi.
Djoko mengatakan, pemerintah harus menghentikan pembangunan simpul logistik secara sporadis tanpa arah nasional. Terminal barang, pelabuhan, jalan tol, bandara, hingga stasiun kereta harus dihubungkan dalam jaringan lintasan logistik yang efisien, berimbang antar moda, dan mempertimbangkan daya dukung wilayah.
2. Penyusunan roadmap tata kelola distribusi barang
Pemerintah tidak boleh membiarkan pelaku industri dan pemilik barang berdiri di luar sistem pengendalian Truk kelebihan muatan atau over dimension dan overload (ODOL). Menurutnya, harus ada regulasi yang menetapkan tanggung jawab mereka, dari jenis kemasan, volume barang, moda yang digunakan, hingga sanksi bila memaksa sopir melanggar aturan.
"Tanpa itu, sopir akan terus menjadi korban," kata Dosen Teknik Sipil Univ Soegijapranata ini.
3. Pembentukan kebijakan logistik nasional berbasis supply chain
Sistem logistik adalah sistem lintas sektor dan lintas wilayah yang tidak bisa ditangani secara sektoral. Perlu pendekatan terintegrasi yang menyatukan kebijakan transportasi, industri, perdagangan, dan ketenagakerjaan.
Djoko mengatakan, pengemudi harus diakui sebagai profesi formal yang mendapat perlindungan upah, jam kerja manusiawi, dan jaminan keselamatan.
Pemberlakuan zero ODOL bukan hanya soal menertibkan ukuran dan muatan truk tetapi harus menjadi pintu masuk menuju reformasi logistik yang adil dan modern.
"Tanpa roadmap yang konkret dan jembatan timbang yang benar-benar berfungsi, maka kebijakan ini hanya akan jadi slogan belaka. Lebih buruk lagi, akan menambah deret panjang ketidakadilan dalam rantai distribusi nasional," katanya.
BERITA TERKAIT: