Begitu bunyi kesimpulan dari penelitian terbaru yang dilakukan oleh Synergy Policies dengan dukungan Alliance for Health Policy and System Research, WHO, sebagaimana keterangan yang diterima redaksi (Rabu, 9/6).
Penelitian yang dilakukan dengan pendekatan kualitatif dan mengambil studi kasus kelompok-kelompok navigator di delapan kabupaten/kota di empat provinsi di tanah air tersebut menemukan bahwa peserta JKN mengalami kesulitan berlapis yang menghambat aksesibilitas layanan JKN seperti yang sudah dijanjikan ke publik.
"Meskipun ada upaya-upaya perbaikan, sistem JKN ternyata belum responsif. Sistem JKN belum memberikan kemudahan bagi peserta JKN untuk mendapatkan manfaat JKN seperti yang dijamin oleh perundang-undangan," begitu pernyataan yang dipaparkan oleh tim Peneliti dari Synergy Policies dalam keterangan yang sama.
Selain itu, masalah-masalah struktural yang lambat diselesaikan bersama oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan BPJS Kesehatan telah menciptakan hambatan bagi warga untuk mengakses sistem JKN.
Para peneliti menambahkan, beban akses itu lebih berat ditanggung oleh kelompok masyarakat miskin yang bekerja secara informal, berpendidikan rendah, tidak memahami alur sistem JKN, kesulitan dalam berekspresi, dan memiliki masalah data kependudukan.
Keadaan tersebut membuat peserta JKN rentan mengalami eksploitasi secara ekonomi oleh oknum-oknum fasilitas kesehatan baik swasta maupun publik. Mereka menjadi semakin tertekan ketika berada di dalam situasi kedaruratan kesehatan karena mengalami hambatan komunikasi dengan pihak rumah sakit sehingga semakin tidak berdaya.
Ketidakberdayaan itu semakin menekan kuat ketika masalah struktural administrasi kependudukan menimbulkan masalah langsung atau tidak langsung dengan kartu JKN-KIS.
Selain itu, masalah struktural lain yang menghambat aksesibilitas layanan JKN adalah terbatasnya dan tidak proposionalnya jumlah tempat tidur, jumlah ruang ICU/PICU/NICU, jumlah dokter spesialis, jumlah peralatan medis yang jauh lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah pasien yang membutuhkan.
Situasi itu menyebabkan pasien rentan mengalami diskriminasi, mengalami keterlambatan pelayanan, dan bahkan tidak mendapatkan pelayanan yang dibutuhkan.
Ketidakpastian mendapatkan layanan kesehatan sesuai kebutuhan dengan kualitas yang diharapkan adalah tantangan harian yang masih dihadapi peserta JKN. Program-program bantuan layanan dan kanal pengaduan seperti Care Center 1-500-400, Mobile JKN, BPJS Satu, dan Lapor.go.id ternyata belum meningkatkan keberdayaan peserta JKN. Â
Hasil penelitian Synergy Policies menemukan bahwa peserta JKN justru lebih mengandalkan navigator untuk mengurangi hambatan-hambatan struktural tersebut daripada saluran yang disediakan oleh pemerintah. Kelompok navigator sendiri adalah relawan non-pemerintah dari berbagai unsur serikat pekerja, tokoh masyarakat dan peserta JKN yang peduli.
"Dalam penelitian ini kami meneliti kelompok navigator seperti BPJS Watch, Jamkeswatch, Posko JKN-KIS, KSBSI dan Swara Parangpuan. Kelompok-kelompok ini menjadi andalan peserta JKN untuk menyelesaikan hambatan ketika mereka mengakses manfaat JKN dan mendapatkan hak sebagai peserta JKN," begitu keterangan dari tim peneliti.
Para navigator tersebut memberikan berbagai bantuan dan layanan-layanan yang secara sederhana menjalankan empat fungsi, yakni memberikan informasi seputar sistem JKN, mendampingi dan mengarahkan masyarakat dalam menavigasi sistem JKN, mengadvokasikan penyesuaian kebijakan atau implementasinya khususnya di tingkat lokal, dan menegakkan sanksi sosial bagi penghambat dan pelanggar sistem JKN khususnya fasilitas penyelenggara kesehatan.
Gerakan navigator ini telah memantik atau memancing responsivitas otoritas JKN terutama BPJS Kesehatan, Pemerintah Daerah, Pemerintah Pusat dan penyelenggara fasilitas kesehatan untuk menyelesaikan sebagian beban dari masalah-masalah struktural yang ditanggung peserta JKN. Â
Meski demikian inisiatif navigator ini tidak terlembagakan secara formal sehingga pelayanan dan bantuan yang disediakan tidak dapat dipastikan berjalan secara berkesinambungan di masa depan. Mereka bekerja atas dasar motivasi altruistik dan bersifat karitafif tanpa ada bantuan pendanaan yang rutin. Mereka juga tidak atau belum mendapatkan pelatihan-pelatihan yang sistematis sebagai syarat untuk meregenerasi kader-kader navigator selanjutnya.
Para peneliti menyoroti, apabila kelemahan ini tidak dapat diselesaikan segera di masa depan maka fungsi mereka untuk mematik responsivitas otoritas JKN untuk bisa menggerakkan sistem JKN dapat berangsur-angsur berkurang. Â
“Dengan adanya inisiatif navigator, berarti sistem pelayanan JKN baik digital atau konvensional yang telah dijalankan oleh BPJS Kesehatan dan Pemerintah Pusat belum secara merata mengakselerasi responsivitas otoritas JKN di berbagai daerah. Jadi masalah JKN jangan melulu masalah keuangan dan defisit. Akuntabilitas akan jaminan layanan JKN penting untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat pada JKN dan menunjang keberlangsungan JKN," ujar ketua tim peneliti yang menyoroti isu tersebut, Dinna Prapto Raharja, dalam keterangan yang sama.
Oleh sebab itu, Dinna menjelaskan bahwa penelitian terbaru yang dilakukan oleh Synergy Policies merekomendasikan sejumlah hal. Pertama adalah reformasi sistem layanan penunjang akses manfaat JKN agar memberdayakan masyarakat dan memberikan kepastian manfaat. Selain itu juga perlu dilakukannya pembaharuan struktur hubungan BPJS Kesehatan dengan fasilitas kesehatan.
Rekomendasi lainnya adalah percepatan pembersihan data warga dalam Dukcapil, transparansi daftar peserta JKN bersubsidi oleh Kementerian Sosial, penyederhaan penanganan keluhan peserta JKN agar meskipun dalam kondisi darurat pun, dapat menikmati jalur layanan yang andal serta perlu adanya sanksi tegas pada instansi pemerintah maupun pelayanan kesehatan publik dan swasta yang gagal memberikan layanan yang berkualitas sesuai dengan kebutuhan pasien JKN.
Bukan hanya itu, para peneliti juga menilai bahwa otoritas JKN perlu mengembangkan forum interaksi antara pemerintah dan navigator untuk membahas masukan masyarakat dan memperbaiki sistem layanan JKN. Selain itu, navigator juga perlu melakukan konsolidasi nasional demi penguatan advokasi kebijakan dan berkolaborasi dengan pakar/universitas untuk melakukan pencatatan kasus yang lebih baik sehingga menjadi basis yang lebih kuat untuk advokasi kebijakan.
BERITA TERKAIT: